Pages


widget

Kamis, 26 Februari 2015

Review Buku Kudeta Putih

"Liberalisasi Serta Regulasi Sektor Keuangan dan Perbankan di Indonesia”

1.      Reformasi Sektor Keuangan dan Perbankan di Indoesia
Liberalisasi di sector keuangan dan perbankan telah dimulai sejak deregulasi Juni 1983. Saat itu harga minyak anjlok dan pemerintah hanya mengandalkan dari ekspor non-migas. Di samping itu, suku bunga pada tahun 1983 dilepas ke pasar dan menarik orang untuk melakukan bisnis di sektor perbankan. Puncak dari liberalisasi adalah saat dikeluarkannya Pakto 1988. Untuk mendorong peningkatan ekspor, orang dibebaskan mendirikan bank. Dampak dari kebijakan itu adalah berkembangnya jumlah bank yang sangat banyak sehingga pengawasan terhadap bank tidak bisa tercover. Sebagai akibatnya adalah krisis yang terjadi pada tahun 1988.[1]
2.      Peran Aktor Internasional Dalam Sektor Keuangan dan Perbankan di Indonesia
2.1              General Agreement on Tariff and Trade (GATS) dan ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS): Komitmen Indonesia di Tingkat Internasional
Komitmern Indonesia dengan AFAS dan GATS di sector perbankan meliputi: (i) keterbatasan akses pasar dan perlakuan nasional yang ditentukan akan dihilangkan pada tahun 2010 (2020 untuk GATS); (ii) bank asing dan badan hukum asing yang bekerjasama  dengan Indonesia diperbolehkan untuk menetapkan atau memperoleh locally incorporated banks with existing regulation; (iii) kantor cabang bank asing dan bank-bank usaha patungan dapat membuka kantor di kota-kota besar di Indonesia dan di semua ibu kota provinsi lainsesuai dengan kebutuhan yang ada; (iv) akuisisis bank local melalui pembelian saham di bursa saham diperbolehkan hingga mencapai 49 persen (51 persen unruk AFAS) dari saham yang tercatat; dan (v) untuk kehadiran natural persons, orang asing yang dipekerjakan sebagai menejer atau ahli teknis dipersyaratkan untuk memiliki du awarga Indonesia sebagai understudies selama jabatannya.[2]
Komitmen tersebut terlihat sangat liberal. Sebagai contoh, kepemilikan bank domestic oleh investor asing dibatasi maksimal 49 persen pada GATS (51 persen pada AFAS), tetapi Indonesia memungkinkan kepemilikan hingga 99 persen setelah dipersetujui oleh pemerintah. Berkenaan dengan masuknya bank-bank asing, pemerintah memandang kehadiran bank asing diperlukan untuk menarik lebih banyak dana dari bank-bank tersebut, daripada membatasi ruang bisnis lingkup mereka. Kehadiran natural persons umumnya dilarang kecuali untuk menejer non-Indonesia atau ahli teknis. Temporary entry dapat diberikan kepada ahli teknis atau penasehat dari cabang bank asing untuk bank joint venture selama maksimal tiga bulan per orang untuk setiap tahun tertentu.[3]
2.2        International Monetary Fund (IMF) dan Restrukturisasi Perbankan di Indonesia
         Restruksi menjadi salah satu agenda utama IMF. Dalam hal ini, bank-bank yang memiliki kredit macet harus ditutup, perusahaan-perusahaan yang berutang harus dilikuidasi atau diambil alih oleh kreditor. Bank-bank diminta untuk memiliki rasio modal atau rasio kecukupan modal. Namun, desakan agar bank-bank segera memiliki rasio kecukupan modal semakin mempercepat terjadinya krisis. IMF dinilai melakukan kesalahan dalam hal ini. Kebijakna ini tidak sesuai jika diterapkan di Indonesia karena banyak bank yang bermasalah di Indonesia, sehingga semakin memperbesar krisis. Dengan banyaknya bank yang dilikuidasi, sementara bank-bank yang bertahan memiliki pinjaman bermasalah sehingga tidak mau menerima nasabah baru, dunia usaha mengalami kesulitan memperoleh kredit. Kebijakan penutupan 16 bank di Indonesia memicu penarikan dana serempak dari bank-bank swasta yang tersisa. Ini merupakan bencana bagi system perbankan dan perekonomian Indonesia saat ini.[4]
2.3        Basel Committee on Banking Supervision: Kerangka Aturan internasional di Bidang Perbankan
           BCBS mengeluarkan tiga rumusan permodalan. Rumusan yang pertama dikenal dengana nama Basel Accord (Basel I ). Basel satu diakui telah berhasil mencapai dua sasaran utama, yaitu  menjaga tingkat kecukupan modal dalam sitem perbankan internasional dan menciptakan iklim kompetisi yang lebih seimbang. Penyempurnaan Basel 1 dinamakan dengan Basel Capital Accord (Basel II). Di dalam Base II ada tiga pilar yang harus diterapkan secara bersamaan. Pertama, syarat modal minimum; kedua, proses review pengawasan bank; ketiga, disiplin pasar.[5] BCBS kemudian melengkapi lagi Basel II dengan menerapkan Basel Core Principles (Basel III), yang meliputi: pengaturan capital buffer bagi asset-aset yang dimiliki perbankan komersial; kemungkinan pengenaan leverage ratio yang cenderung akan meningkat pada periode-periode yang akan datang; penguatan manajemen likuiditas perbankan.[6]
           Penerapan Basel III memiliki dampak positif dan negative. Dampak positifnya adalah dapat memperkuat sisi permodalan perbankan komersial di Indonesia. Sedangkan dampak negatifnya adalah ketentuan Basel III akan mendorong makin tingginya suku bunga kredit, kemungkinan munculnya banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor perbankan.[7]
2.4           Bentuk Pengaruh Asing dalam Regulasi Sektor Keuangan dan Perbankan di Indonesia
2.4.1     UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan PP No. 29 Tahun 1999 tentang Pembelian
2.4.1.1        Peran IMF dalam Liberalisasi Sektor Perbankan
               Besarnya kepemilikan asing di sektor perbankan tidak terlepas dari program yang diberikan IMF. Program IMF dilakukan melalui Letter of Intent (Lol) dan Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP).[8] Dalam MEFP pemerintah berkomitmen melakukan amandemen dalam UU perbankan untuk mendukung program privatisasi secara penuh atas semua bank pemerintah.
               Agenda utama Lol adalah liberalisasi perbankan Indonesia dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Indonesia menjadi Negara paling liberal karena membolehkan pihak asing menguasai saham bank umum hingga 99 %. Dampaknya, Indonesia semakin mudah dipenetrasi oleh pihak asing yang mengakibatkan ketergantungan yang semakin kuat kepada pihak asing.[9]
2.4.2        UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
2.4.2.1        Prinsip Umum Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
               Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sector perbankan, OJK mempunyai wewenang:
a.          Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: perizinan untuk pendirian bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumberdaya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.
b.         Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank, meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas asset, rasio kecukupan modal simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; system informasi debitur; pengujian kredit; dan standar akuntansi bank.
c.          Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehat-hatian bank, meliputi: manajemen risiko; tata kelola bank; prinsip mengenal nasabah dan anti-pencucian uang; pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan pemeriksaan bank.
2.4.2.2        Peran Asian Development Bank (ADB) dan Bank Dunia dalam Pembentukan Regulasi OJK
               ADB merupakan salah satu lembaga donor yang mendukung terbentuknya OJK. ADB mendukung rencana pemerintah Indonesia untuk membentuk lembaga OJK dalam bentuk memberikan pinjaman dan menggalang dana dari Negara-negara donor. Namun, syaratnya, pemerintah harus mengajukan rencana undang-undang kepada DPR.[10] Sebagai otoritas public yang independen, OJK akan bertanggung jawab atas konsolidasi pengaturan dan pengawasan bank, Non-Bank Financial Institutions (NBFIs), dan pasar modal.[11]
               Selain ADB, Bank Dunia menjadi salah satu lembaga financial internasional yang terlibat dalam proses pembentukan OJK. Undang-undang OJK merupakan salah satu rekomendasi kebijakan yang disebutkan secara eksplisit dalam program Development Policy Loan (DPL) ketiga.[12]
2.4.3        UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
2.4.3.1  Prinsip dan Pengelolaan Jaminan Sosial
Undang-undang No. 40 Tahun 2004 menyebutkan jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dibentuk dengan undang-undang.[13]
Pada Oktober tahun 2011 DPR dan pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menjadi undang-undang. Secara substansi, UU BPJS mengatur kewajiban Negara untuk membberikan lima jaminan dasar bagi rakyatnya.[14]
2.4.3.2  Peran ADB dan Bank Dunia Dalam Regulasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
Kontribusi ADB dalam regulasi SJSN dapat dilihat dalam Technical Assistence (TA) 4024-INO tentang Financial Governance and Social Security Reform. Bantuan teknis (TA) adalah bagioan dari dukungan lanjutan dari ADB kepada pemerintah Indonesia untuk mengatasi dampak fiscal dari krisis keuangan Asia dengan memperkuat pasar modal domestic dengan penguatan regulasi dan pengawasan.[15]
3        Implikasi Pengaruh Asing Dalam Liberalisasi serta Regulasi di Sektor Keuangan dan Perbankan
Pengaruh asing dalam regulasi di sektor keuangan dan perbankan memberikan sejumlah implikasi bagi sector perbankan dan keuangan di Indonesia. Dalam hal ini beberapa implikasi dilihat dari dampak lahirnya beberapa undang-undang yang telah dijelaskan sebelumnya, seperti undang-undang di bidang perbankan, Bank Indonesia, OJK, atau SJSN. Pengaruh asing dalam sector keuangan perbankan juga dilihat dari indikasi keterlibatan actor-aktor internasional dalam regulasi di sector ini seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB.
Masuknya asing ke perbankan Indonesia dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Selain saham di Indonesia murah, tingkat keuntunan perbankan di Indonesia juga sangat tinggi. Terdapat beberapa efek penting masuknya asing di perbankan Indonesia. Pertama, penguasaan pasar asset oleh pihak asing diperkirakan makin besar sejalan dengan gerak ekspansi terutama dalam kaitannya dengan Basel II.[16]
Kedua, bank-bank yang dimiliki asing dengan cabang yang tersebar di tanah air memungkinkan masuk pasar kredit mikro yang memberikan keuntungan besar. Ketiga, kredit konsumsi dengan suku bunga tinggi telah menjadi pasar dominan bagi bank-bank asing, Keempat, masuknya para banker asing ke Indonesia diharapkan sebagai upaya transfer teknologi dan pengetahuan, namun, faktanya mereka mengendalikan bank-banknya untuk bermain di pasar konsumsi yang sebenarnya tidak membutuhkan pengetahuan tinggi. Kelima, bank-bank swasta yang dimiliki pihak asing dengan bankir asingnya bukan jaminan tidak melakukan praktik moral hazard. Tidak semua bank yang dimiliki asing menerapkan tata kelola perusahaan yang baik. Keenam, hampir seluruh bank swasta rekap sudah dipimpin bankir-bankir asing. Tujih, adanya praktik transfer pricing bank-bank swasta yang dimiliki asing, baik dalam praktik kredit, tenaga kerja yang bermotif technical assistance, maupun pembelian barang. Delapan, jurang gaji yang sangat lebar.[17]



[1] Hasil wawancara dengan Ahmad Iskandar, Produser Eksekutif Kabar Pasar TV One, pada tanggal 27 Maret 2012, di TV One pkl. 11.00
[2] Yun-Hwan Kim, “Financial Opening Under The Wto Agreement In Selected Asian Countries: Progress And Issues”, ERD Working Paper No. 24, ADB , September 2002, Hal. 4
[3] Ibid
[4] Joseph E. Stiglitz, Kegagalan Globalisasi dan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional, PT. Ina Publikatama, Jakarta, 2012, hal. 160
[5] “Rezim Internasional Sektor Keuangan dan Dominasi Modal Asing”, dalam Free Trade Watch Edisi III-Oktober 2012
[6] “Regulasi Perbankan, Perdagangan Bermata Dua Bernama Basel III”, dalam Warta Economic Edisi 20 Th. XXII, 7 Oktober-17 Oktober 2010
[7] Ibid
[8] “Financial Sector Crisis and Restructuring Lessons from Asia”, diakses dari http://www.imf.org/external/pubs/ft/op/opfinsec/index.htm pada tanggal 25 Januari 2012 pkl. 20.30.
[9] “Hegemoni Kepentingan Asing Dalam Struktur Kekuasaan Economic di Indonesia”, diakses dari http://www.starbrainindonesia.com/sit/jornal//11/hegemoni-kepentingan-asing-dalam-struktur-kekuasaan-ekonomi-di-indonesia, pada tanggal 12 Januari 2012 pkl. 11.50
[10] “RUU OJK Harus Segera diajukan Ke DPR” dalam Suara Karya 18 Juni 2003
[11] “ADB Technical Assistance Completion Report: TA 3850-INO: Establishment of a Financial Services Authority”, diakses dari http://www.adb.org/Documents/TACRs/INO/35499-INO-TCR.pdf pada yanggal 14 Januari 2012 pkl. 08.00
[12] Bank Dunia. 2006. Lihat lebih lanjut pada Program document, on a proposed loan, in amount of $600 million to the republic of Indonesia for a third development policy loan, hal. 32
[13] “Agenda Pengimplementasian UU No. 40 Tahun 2004”, diakses dari http://www.djsn.go.id/home/22-agenda-pengimplementasian-uu-no-tahun-2004-.html pada tanggal 27 Januari 2012 pkl. 11.00
[14] Undang-Undang Badan Penyelenggara Jmainan Sosial dosahkan”, diakses dari dari http://yustisi.com/2011/10/undang-undang-badan-penyelenggara-jaminan-sosial-disahkan/ pada tanggal 28 Januari 2012, pkl. 12.30
[15] ADB Technical Assistance Completion Report, TA 4024-INO: Financial Governance and Social Securuty Reform
[16] Kepemilikan Bank: Asing, ASENG atau ASEP, Bagaimana Konsep API Yang Baru? Dalam Infobank, No. 366, vol. XXXI , September 2009, hal. 13
[17] Ibid

0 komentar:

Posting Komentar