"Liberalisasi Serta Regulasi Sektor Keuangan dan
Perbankan di Indonesia”
1.
Reformasi Sektor
Keuangan dan Perbankan di Indoesia
Liberalisasi di sector keuangan dan perbankan telah
dimulai sejak deregulasi Juni 1983. Saat itu harga minyak anjlok dan pemerintah
hanya mengandalkan dari ekspor non-migas. Di samping itu, suku bunga pada tahun
1983 dilepas ke pasar dan menarik orang untuk melakukan bisnis di sektor
perbankan. Puncak dari liberalisasi adalah saat dikeluarkannya Pakto 1988.
Untuk mendorong peningkatan ekspor, orang dibebaskan mendirikan bank. Dampak
dari kebijakan itu adalah berkembangnya jumlah bank yang sangat banyak sehingga
pengawasan terhadap bank tidak bisa tercover. Sebagai akibatnya adalah krisis
yang terjadi pada tahun 1988.[1]
2.
Peran Aktor
Internasional Dalam Sektor Keuangan dan Perbankan di Indonesia
2.1
General Agreement on Tariff and Trade (GATS) dan ASEAN
Framework Agreement on Services (AFAS): Komitmen Indonesia di Tingkat
Internasional
Komitmern
Indonesia dengan AFAS dan GATS di sector perbankan meliputi: (i) keterbatasan
akses pasar dan perlakuan nasional yang ditentukan akan dihilangkan pada tahun
2010 (2020 untuk GATS); (ii) bank asing dan badan hukum asing yang bekerjasama dengan Indonesia diperbolehkan untuk
menetapkan atau memperoleh locally
incorporated banks with existing regulation; (iii) kantor cabang bank asing
dan bank-bank usaha patungan dapat membuka kantor di kota-kota besar di
Indonesia dan di semua ibu kota provinsi lainsesuai dengan kebutuhan yang ada;
(iv) akuisisis bank local melalui pembelian saham di bursa saham diperbolehkan
hingga mencapai 49 persen (51 persen unruk AFAS) dari saham yang tercatat; dan
(v) untuk kehadiran natural persons, orang
asing yang dipekerjakan sebagai menejer atau ahli teknis dipersyaratkan untuk
memiliki du awarga Indonesia sebagai understudies
selama jabatannya.[2]
Komitmen
tersebut terlihat sangat liberal. Sebagai contoh, kepemilikan bank domestic
oleh investor asing dibatasi maksimal 49 persen pada GATS (51 persen pada
AFAS), tetapi Indonesia memungkinkan kepemilikan hingga 99 persen setelah
dipersetujui oleh pemerintah. Berkenaan dengan masuknya bank-bank asing,
pemerintah memandang kehadiran bank asing diperlukan untuk menarik lebih banyak
dana dari bank-bank tersebut, daripada membatasi ruang bisnis lingkup mereka.
Kehadiran natural persons umumnya
dilarang kecuali untuk menejer non-Indonesia atau ahli teknis. Temporary entry dapat diberikan kepada
ahli teknis atau penasehat dari cabang bank asing untuk bank joint venture selama maksimal tiga bulan per orang untuk
setiap tahun tertentu.[3]
2.2
International Monetary Fund (IMF) dan Restrukturisasi Perbankan di Indonesia
Restruksi menjadi salah satu agenda
utama IMF. Dalam hal ini, bank-bank yang memiliki kredit macet harus ditutup,
perusahaan-perusahaan yang berutang harus dilikuidasi atau diambil alih oleh
kreditor. Bank-bank diminta untuk memiliki rasio modal atau rasio kecukupan
modal. Namun, desakan agar bank-bank segera memiliki rasio kecukupan modal
semakin mempercepat terjadinya krisis. IMF dinilai melakukan kesalahan dalam
hal ini. Kebijakna ini tidak sesuai jika diterapkan di Indonesia karena banyak
bank yang bermasalah di Indonesia, sehingga semakin memperbesar krisis. Dengan
banyaknya bank yang dilikuidasi, sementara bank-bank yang bertahan memiliki
pinjaman bermasalah sehingga tidak mau menerima nasabah baru, dunia usaha
mengalami kesulitan memperoleh kredit. Kebijakan penutupan 16 bank di Indonesia
memicu penarikan dana serempak dari bank-bank swasta yang tersisa. Ini
merupakan bencana bagi system perbankan dan perekonomian Indonesia saat ini.[4]
2.3
Basel Committee on Banking Supervision: Kerangka Aturan internasional di Bidang Perbankan
BCBS mengeluarkan tiga rumusan
permodalan. Rumusan yang pertama dikenal dengana nama Basel Accord (Basel I ). Basel
satu diakui telah berhasil mencapai dua sasaran utama, yaitu menjaga tingkat kecukupan modal dalam sitem
perbankan internasional dan menciptakan iklim kompetisi yang lebih seimbang.
Penyempurnaan Basel 1 dinamakan dengan Basel
Capital Accord (Basel II). Di dalam Base II ada tiga pilar yang harus
diterapkan secara bersamaan. Pertama, syarat
modal minimum; kedua, proses review
pengawasan bank; ketiga, disiplin
pasar.[5]
BCBS kemudian melengkapi lagi Basel II dengan menerapkan Basel Core Principles (Basel III), yang meliputi: pengaturan capital buffer bagi asset-aset yang
dimiliki perbankan komersial; kemungkinan pengenaan leverage ratio yang cenderung akan meningkat pada periode-periode
yang akan datang; penguatan manajemen likuiditas perbankan.[6]
Penerapan Basel III memiliki dampak
positif dan negative. Dampak positifnya adalah dapat memperkuat sisi permodalan
perbankan komersial di Indonesia. Sedangkan dampak negatifnya adalah ketentuan
Basel III akan mendorong makin tingginya suku bunga kredit, kemungkinan
munculnya banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor perbankan.[7]
2.4
Bentuk Pengaruh
Asing dalam Regulasi Sektor Keuangan dan Perbankan di Indonesia
2.4.1
UU No. 10 Tahun
1998 tentang Perbankan dan PP No. 29 Tahun 1999 tentang Pembelian
2.4.1.1
Peran IMF dalam
Liberalisasi Sektor Perbankan
Besarnya
kepemilikan asing di sektor perbankan tidak terlepas dari program yang
diberikan IMF. Program IMF dilakukan melalui Letter of Intent (Lol) dan Memorandum
of Economic and Financial Policies (MEFP).[8]
Dalam MEFP pemerintah berkomitmen melakukan amandemen dalam UU perbankan untuk
mendukung program privatisasi secara penuh atas semua bank pemerintah.
Agenda
utama Lol adalah liberalisasi perbankan Indonesia dan privatisasi Badan Usaha
Milik Negara (BUMN). Indonesia menjadi Negara paling liberal karena membolehkan
pihak asing menguasai saham bank umum hingga 99 %. Dampaknya, Indonesia semakin
mudah dipenetrasi oleh pihak asing yang mengakibatkan ketergantungan yang
semakin kuat kepada pihak asing.[9]
2.4.2
UU No. 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
2.4.2.1
Prinsip Umum
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Untuk melaksanakan tugas
pengaturan dan pengawasan di sector perbankan, OJK mempunyai wewenang:
a.
Pengaturan dan
pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: perizinan untuk pendirian
bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumberdaya
manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha
bank; kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk
hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.
b.
Pengaturan dan
pengawasan mengenai kesehatan bank, meliputi: likuiditas, rentabilitas,
solvabilitas, kualitas asset, rasio kecukupan modal simpanan, dan pencadangan
bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; system
informasi debitur; pengujian kredit; dan standar akuntansi bank.
c.
Pengaturan dan
pengawasan mengenai aspek kehat-hatian bank, meliputi: manajemen risiko; tata
kelola bank; prinsip mengenal nasabah dan anti-pencucian uang; pencegahan
pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan pemeriksaan bank.
2.4.2.2
Peran Asian Development Bank (ADB) dan Bank Dunia dalam Pembentukan
Regulasi OJK
ADB merupakan salah satu lembaga
donor yang mendukung terbentuknya OJK. ADB mendukung rencana pemerintah
Indonesia untuk membentuk lembaga OJK dalam bentuk memberikan pinjaman dan
menggalang dana dari Negara-negara donor. Namun, syaratnya, pemerintah harus
mengajukan rencana undang-undang kepada DPR.[10]
Sebagai otoritas public yang independen, OJK akan bertanggung jawab atas
konsolidasi pengaturan dan pengawasan bank, Non-Bank
Financial Institutions (NBFIs), dan pasar modal.[11]
Selain ADB, Bank Dunia menjadi
salah satu lembaga financial internasional yang terlibat dalam proses
pembentukan OJK. Undang-undang OJK merupakan salah satu rekomendasi kebijakan
yang disebutkan secara eksplisit dalam program Development Policy Loan (DPL) ketiga.[12]
2.4.3
UU No. 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
2.4.3.1
Prinsip dan
Pengelolaan Jaminan Sosial
Undang-undang
No. 40 Tahun 2004 menyebutkan jaminan sosial adalah salah satu bentuk
perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan
dasar hidupnya yang layak. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dibentuk dengan
undang-undang.[13]
Pada Oktober
tahun 2011 DPR dan pemerintah mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menjadi undang-undang. Secara substansi, UU
BPJS mengatur kewajiban Negara untuk membberikan lima jaminan dasar bagi
rakyatnya.[14]
2.4.3.2
Peran ADB dan
Bank Dunia Dalam Regulasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)
Kontribusi ADB
dalam regulasi SJSN dapat dilihat dalam Technical
Assistence (TA) 4024-INO tentang Financial
Governance and Social Security Reform. Bantuan teknis (TA) adalah bagioan
dari dukungan lanjutan dari ADB kepada pemerintah Indonesia untuk mengatasi
dampak fiscal dari krisis keuangan Asia dengan memperkuat pasar modal domestic
dengan penguatan regulasi dan pengawasan.[15]
3
Implikasi
Pengaruh Asing Dalam Liberalisasi serta Regulasi di Sektor Keuangan dan
Perbankan
Pengaruh asing dalam regulasi di sektor keuangan dan
perbankan memberikan sejumlah implikasi bagi sector perbankan dan keuangan di
Indonesia. Dalam hal ini beberapa implikasi dilihat dari dampak lahirnya
beberapa undang-undang yang telah dijelaskan sebelumnya, seperti undang-undang
di bidang perbankan, Bank Indonesia, OJK, atau SJSN. Pengaruh asing dalam sector
keuangan perbankan juga dilihat dari indikasi keterlibatan actor-aktor
internasional dalam regulasi di sector ini seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB.
Masuknya asing ke perbankan Indonesia dilatarbelakangi
oleh beberapa hal. Selain saham di Indonesia murah, tingkat keuntunan perbankan
di Indonesia juga sangat tinggi. Terdapat beberapa efek penting masuknya asing
di perbankan Indonesia. Pertama, penguasaan
pasar asset oleh pihak asing diperkirakan makin besar sejalan dengan gerak
ekspansi terutama dalam kaitannya dengan Basel II.[16]
Kedua, bank-bank yang dimiliki asing dengan cabang yang
tersebar di tanah air memungkinkan masuk pasar kredit mikro yang memberikan
keuntungan besar. Ketiga, kredit
konsumsi dengan suku bunga tinggi telah menjadi pasar dominan bagi bank-bank
asing, Keempat, masuknya para banker
asing ke Indonesia diharapkan sebagai upaya transfer teknologi dan pengetahuan,
namun, faktanya mereka mengendalikan bank-banknya untuk bermain di pasar
konsumsi yang sebenarnya tidak membutuhkan pengetahuan tinggi. Kelima, bank-bank swasta yang dimiliki
pihak asing dengan bankir asingnya bukan jaminan tidak melakukan praktik moral hazard. Tidak semua bank yang
dimiliki asing menerapkan tata kelola perusahaan yang baik. Keenam, hampir seluruh bank swasta rekap
sudah dipimpin bankir-bankir asing. Tujih,
adanya praktik transfer pricing bank-bank
swasta yang dimiliki asing, baik dalam praktik kredit, tenaga kerja yang
bermotif technical assistance, maupun
pembelian barang. Delapan, jurang gaji
yang sangat lebar.[17]
[1] Hasil wawancara dengan
Ahmad Iskandar, Produser Eksekutif Kabar Pasar TV One, pada tanggal 27 Maret
2012, di TV One pkl. 11.00
[2] Yun-Hwan Kim, “Financial
Opening Under The Wto Agreement In Selected Asian Countries: Progress And
Issues”, ERD Working Paper No. 24,
ADB , September 2002, Hal. 4
[4] Joseph E. Stiglitz, Kegagalan Globalisasi dan Lembaga-lembaga
Keuangan Internasional, PT. Ina Publikatama, Jakarta, 2012, hal. 160
[5] “Rezim Internasional
Sektor Keuangan dan Dominasi Modal Asing”, dalam Free Trade Watch Edisi III-Oktober 2012
[6] “Regulasi Perbankan,
Perdagangan Bermata Dua Bernama Basel III”, dalam Warta Economic Edisi 20 Th. XXII, 7 Oktober-17 Oktober 2010
[8] “Financial Sector Crisis
and Restructuring Lessons from Asia”, diakses dari http://www.imf.org/external/pubs/ft/op/opfinsec/index.htm
pada tanggal 25 Januari 2012
pkl. 20.30.
[9] “Hegemoni Kepentingan
Asing Dalam Struktur Kekuasaan Economic di Indonesia”, diakses dari http://www.starbrainindonesia.com/sit/jornal//11/hegemoni-kepentingan-asing-dalam-struktur-kekuasaan-ekonomi-di-indonesia, pada tanggal 12 Januari 2012 pkl. 11.50
[11] “ADB Technical Assistance
Completion Report: TA 3850-INO: Establishment of a Financial Services
Authority”, diakses dari http://www.adb.org/Documents/TACRs/INO/35499-INO-TCR.pdf
pada yanggal 14 Januari 2012
pkl. 08.00
[12] Bank Dunia. 2006. Lihat
lebih lanjut pada Program document, on a proposed loan, in amount of $600
million to the republic of Indonesia for a third development policy loan, hal.
32
[13] “Agenda
Pengimplementasian UU No. 40 Tahun 2004”, diakses dari http://www.djsn.go.id/home/22-agenda-pengimplementasian-uu-no-tahun-2004-.html
pada tanggal 27 Januari 2012
pkl. 11.00
[14] “Undang-Undang Badan Penyelenggara Jmainan Sosial dosahkan”, diakses
dari dari http://yustisi.com/2011/10/undang-undang-badan-penyelenggara-jaminan-sosial-disahkan/
pada tanggal 28 Januari 2012,
pkl. 12.30
[15] ADB Technical Assistance
Completion Report, TA 4024-INO: Financial Governance and Social Securuty Reform
[16] Kepemilikan Bank: Asing,
ASENG atau ASEP, Bagaimana Konsep API Yang Baru? Dalam Infobank, No. 366, vol. XXXI , September 2009, hal. 13
0 komentar:
Posting Komentar