Pages


widget

Kamis, 26 Februari 2015

Makalah Demokrasi Permusyawaratan

BAB 1
PENDAHULUAN
            Menurut Abraham Lincoln, demokrasi merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maksudnya adalah bahwa konsep pemerintahan yang ada dalam Negara demokrasi, lebih mementingkan kepentingan rakyat daripada kepentingan golongan. Negara demokrasi menghendaki adanya persamaan hak dan kewajiban bagi semua individu, sehinggat tidak ada yang ditinggikan dan tidak ada yang direndahkan.
            Sejak Negara Indonesia merdeka, Indonesia telah menganut beberapa system demokrasi. Pada masa pemerintahan revolusi kemerdekaan, demokrasi di Indonesi baru terbatas pada interaksi politik di parlemen dan berfungsinya pers yang mendukung kemerdekaan. Pada tahun 1945-1959, Indonesia menganut demokrasi parlementer. Pada masa orde lama, muncul demokrasi terpimpin sebagai system demokrasi yang dianut di Indonesia. Pada masa orde baru, pemerintahan Soeharto menganut system demokrasi pancasila, dengan klaim bahwa system demokrasi ini yang paling sesuai dengan iddeologi Negara Indonesia. Sementara pada era reformasi, Indonesia tetap menggunakan system demokrasi pancasila namun dengan karakteristik yang berbeda dengan masa orde baru.
            Selain beberapa jenis demokrasi yang pernag digunakan Indonesia, yang telah disebutkan di atas, ada lagi suatu bentuk demokrasi yang bernama demokrasi permusyawaratan (demokrasi deliberatif). Demokrasi ini dalam penerapannya melalui proses musyawarah dan tidak memusatkan diri pada penyusunan daftar aturan-aturan tertentu, melainkan pada prosedur untuk menghasilkan aturan-aturan itu. Demokrasi permusyawaratan meminati persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif, yaitu menjelaskan arti control demokratis melalui opini public. Seperti dalam menentukan kebijakan politik, termasuk penetapan anggaran Pilkada.
            Anggaran Pilkada seharusnya juga melalui proses musyawarah, agar diadakannya Pilkada itu mencerminkan proses demokrasi yang sudah dilakukan sejak awal, yaitu mulai dari penyususnan acara Pilkada, penetapan anggaran, sampai proses  berlangsungnya Pilkada tersebut. Tujuan diadakannya Pilkada adalah untuk menciptakan pemerintahan yang demokrasi, maka dari itu proses-proses yang berlangsung selama Pilkada juga harus dilakukan secara demokratis.
           
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1   Filsafat Demokrasi (Hakikat Demokrasi)
            Setelah keruntuhan Negara-negara di Yunani Kuno, baru pada abad ke 18 mauncul kembali masyarakat yang dapat disebut sebagai demkrokratis, sebuah jeda lebih dari dua ribu tahun lamanya. Yang pertama adalah Amerika Serikat, yang didirikan pada tahun 1776. Tiga belas tahun kemudian, Revolusi Perancis pada tahun 1789 memicu penyebarluasan ide-ide serupa di seluruh Eropa. Sejak saat itu dimulailah proses demokratisasi dalam arti modern. Ide-ide memainkan peran yang sangat penting dalam perkembangan ini, terutama mengenai bagaimana memadukan kebebasan individu dengan kesetaraan sosial, serta bagaimana pula kita dapat mencapainya serayamengupayakan masyarakat yang teratur dan kemakmuran ekonomi. Persoalan-persoalan seperti itu mendominasi filsafat politik.
            Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata “demos” dan “cratos”. Demos artinya penduduk dan kratos artinya kekuasaan. oleh karena itu, demokrasi dapat diartikan ‘kekuasaan ada di tangan rakyat’. Dalam system demokrasi, rakyat adalah yang berkuasa dan paling berdaulat. Pemerintah atau pemimpin bangsa, tidak bisa menjalankan program apa pun yang bertentangan dengan aspirasi atau kehendak rakyat. Demokrasi sesuai apabila diterapkan di Negara yang berdaulat, seperti Indonesia. Gus Dur, dalam pidato pertamanya seusai pengucapan sumpah Presiden, menegaskan bahwa hanya yang memahami hakikat demokrasilah yang dapat memelihara dan menegakkan demokrasi. Hakikat demokrasi yang mendahulukan kepentingan dan kebaikan bersama, dapat dicapai dengan syarat adanya pembagian kekuasaan (desentralisasi) dan organisasi yang kental. Nilai kebebasan berpendapat dijamin oleh hukum.

2.2   Sejarah dan Perkembangan Demokrasi
            Demokrasi dilihat sebagai arus naik dan turun. Mulai tahun 1776-an, sampai puncaknya tahun 1922 terjadi arus naik, yaitu demokrasi Amerika, Perancis, Jerman, Inggris, Italia. Tetapi sejak 1922  kemudian terjadi penurunan seperti Stalinisme, Fasisme dan sebagainya sampai 1945. Dari tahun 1945 sampai dengan 1958 terjadi kenaikna demokrasi termasuk di Indonesia yaitu demokrasi parlementer. Tahun 1968 sampai dengan 1970 terjadi arus turun lagi yang menuju birokratik otoritarisme antara lain juga Indonesia, Pakistan, Burma, Brazil, Argrntina dan sebagainya. Tahun 1980 sampai 1990 naik lagi dari Eropa Selatan, misalnya Yunani dari otoriter menjadi demokrasi, juga Spanyol, Portugal, dan sebagainya. Di Amerika Latin yang terkenal dictator dan kudeta mulai ada proses demokrasi seperti Brazil dan Argentina. Di Asia seperti Philipina, Thailand sebelum kudeta terkahir, juga Eropa Timur seperti Soviet, Rusia.

2.3   Demokrasi Desa, Islam dan Barat: Komponen Demokrasi Indonesia
            Di Indonesia di dalam “pemerintahan desa” dikenal adanya demokrasi secara langsung. Di desa-desa seperti di Jawa Tengah misalnya, dikenal adanya lembaga “selapanan” yaitu rapat desa yang diadakan pada setiap hari dengan pasaran tertentu (misalnya Senen-pon, Selasa-wage, Rebo-kliwon dan sebagainya. Masing-masing desa memiliki hari pasaran sendiri-sendiri). Di dalam rapat selapan ini setiap penduduk (
warga) desa pada asasnya diperkenankan menghadiri untuk membicarakan masalah-masalah pemerintah desa. Rupa-rupanya pada saat-saat terakhir lembaga ini sering-sering sudah tidak lagi dipergunakan.
            Hubungan antara islam dan demokrasi biasanya merujuk pada konsep musyawarah dan sebagainya. Padahal mungkin ada konsep lain yang sebenarnya lebih dekat dengan  mekanisme demokrasi. Salah satunya adalah dalam episode ketika Tuhan  menciptakan manusia bermusyawarah dengan malaikat. Tapi yang perlu dicatat bahwa dalam konsep kekhalifahan manusia, yang paling implicit di dalamnya adalah adanya konsep yang diperankan oleh iblis. Iblis menolak sama sekali kekhalifahan manusia, alasannya karena iblis diciptakan dari api sedangkan manusia dari saripati tanah. Di sini implicit bahwa di dalam konsep kekhalifahan, ada konsep oposisi yang ditolerir.
            Kalau bicara yang lebih konkrit, bukan dari segi etika dan moral tetapi bagaimana umat islam hubungannya dengan demokrasi. Di kalangan ahli banyak dibahas bagaimana terjadi proses naik turun di dalam demokrsi. Dulu ada perdebatan bahwa demokrasi bisa muncul kalau ekonominya baik. Tapi, belakangan diketahui bahwa bahwa Negara yang pendapatannya sudah tinggi pun tidak tampak adanya kans demokrasi. Argument kedua bersangkutan dengan struktur sosialnya. Argument lain yang sering kita dengar adalah argument kebudayaan. Negara-negara yang mula-mula mengambil demokrasi dalam kenyataanya memang beragama protestan. Maka, kebudayaan seperti di Indonesia yang gotong royong , paternalism, musyawarah mufakat, melahirkan demokrasinya sendiri yang dianggap sebagai pengejawantahan kebudayaan. Dalam hal ini ada dua model demokrasi, yaitu model keluarga, musyawarah dalam member kata terakhir dan model pemerintahan desa yang komunal, gotong royong.
            Sementara bukti adanya demokrasi yang terjadi di Barat, seperti Perancis adalah bahwa masalah yang harus diselesaikan bukanlah hal perpecahan yang selalu ada dalam masyarakat Perancis, dan bukan masalah perjuangan kelas. Bangsa Perancis akan tetap terpecah belah di dalam berbagai ideology. Tetapi dari contoh yang terjadi dalam demokrasi industry lainnya, peningkatan telah menguntungkan perkembangan kelompok pusat yang besar, yang memang sudah merupakan mayoriyas yang berciri khusus dalam sikap, cara hidup, pendidikan, media massa, kebudayaan dan aspirasi-aspirasinya yang cenderung menjadi homogeny.pengintegrasian masyarakat Perancis secara bertahap dimudahkan oleh pengadaan keadilan yang lebih luas, tetapi bukan berarti perjuangan melawan kesengsaraan, kecacatan, penganakemasan dan ketidakmerataan kesempatan budaya, menentukan jalan yang harus ditempuh. Masyarakat bertujuan memajukan pribadi-pribadi, maka organisasi masyarakat yang kolektif, yang jelas bertentangan dengan efektifitas, akan bertentangan juga dengan aspirasi-aspirasi rakyat.
           
2.4   Demokrasi Permusyawaratan (Demokrasi Deliberatif)
            Secara etimologis, deliberative berasal dari kata deliberation, yang berarti konsultasi atau menimbang-nimbang, atau menurut kosa kata politis “musyawarah”. Demokrasi, menurut Habermas, harus memiliki dimensi deliberatif. Proses deliberative terjadi jika suatu kebijakan public yang akan disahkan harus dimurnikan dahulu dalam konteks diskursus publik. Budi Hardiman, dalam salah satu artikelnya tentang Habermas pada majalah Basis,  menulis, “Demokrasi bersifat deliberative jika proses pemberian suatu alasan atas suatu kandidat kebijakan public diuji lebih dahulu lewat konsultasi public atau lewat dalam kosakata Habermas diskursus publik”. Teori demokrasi deliberative tidak memusatkan diri pada penyususnan daftar aturan-aturan tertentu yang menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh warga Negara, melainkan pada prosedur untuk menghasilkan aturan-aturan itu.

            Demokrasi liberatif meminati persoalan kesahihan keputusan-keputusan kolektif., yaitu menjelaskan arti control demokratis melalui opini publik. Demokrasi deliberative mengacu pada prosedur formasi opini dan aspirasi secara demokratis.

BAB III
STUDI KASUS



Anggaran Pilkada Kota Tangerang ditetapkan sebesar Rp 70 M
Reporter : Mitra Ramadhan | Selasa, 29 Januari 2013 15:39
Merdeka.com - Anggaran untuk Pilkada Kota Tangerang pada 2013 ini disiapkan oleh Pemkot Tangerang sebesar Rp 70 miliar. Hal itu dikatakan oleh Sekda Kota Tangerang, Harry Mulya Zein atau yang biasa dipanggil HMZ. 
"Total secara keseluruhan sebesar Rp 70 miliar untuk Pilkada Kota Tangerang," ujar HMZ di Tangerang, Selasa (29/1).
Sekda mengatakan, anggaran Rp 70 miliar itu dibagi untuk penggunaan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Tangerang, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan sentra Gerakan Hukum Terpadu (Gakumdu). 
"Di antaranya Rp 4 miliar untuk Panwaslu, Rp 4 miliar untuk Gakumdu dan sekitar Rp 60 miliar untuk KPU. Anggaran tersebut digunakan untuk dua putaran," ujarnya.
Sementara itu, Ketua KPU Kota Tangerang Syafril Elain mengatakan, pihaknya diberi anggaran tersebut akan menerima saja. "KPU Kota Tangerang untuk Pilkada diberi Rp 60 miliar untuk dua putaran," jelasnya.
Untuk diketahui Kota Tangerang akan digelar Pemilihan wali kota/wakil wali kota pada September 2013 mendatang. Jumlah kecamatan yang ada di Kota Tangerang sebanyak 13 kecamatan, sedangkan jumlah kelurahan sebanyak 104 kelurahan. 
Dahulu Kota Tangerang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Tangerang. Kemudian kini ditingkatkan menjadi kota administratif dan akhirnya ditetapkan sebagai 'kotamadya' diganti dengan kota pada 2001. Kota yang lahir pada 28 Februari 1993 itu berada di dalam Provinsi Banten ini juga merupakan kota terbesar di Provinsi Banten.
[hhw]


BAB IV
ANALISIS
          Pilkada di Kota Tanggerang dilaksanakan pada September 2013. Kota Tanggerang memiliki 13 kecamatan dan 104 kelurahan. Penetapan anggaran Pilkada Kota Tanggerang senilai Rp. 70 M, bisa dikatakan sebagai terealisasinya demokrasi permusyawaratan. Penetapan anggaran Pilkada telah melalui berbagai pertimbangan, dimana sejumlah anggaran tersebut digunakan untuk kepentingan bersama, yakni kepentingan pelaksanaan Pemilu. Tujuan diadakannya Pemilu adalah untuk pelembagaan demokrasi dan pembangunan kembali kohesi sosial yang telah retak yang disebabkan oleh terjadinya tarik-menarik dukungan dan penolakan antara berbagai kelompok sosial dan masyarakat. Pemilu memiliki makna pelantikan pemerintahan baru atau rezim demokratik yang menggantikan pemerintah otoriter yang telah tumbang. Pemilu merupakan perwujudan dari konsoplidasi system demokrasi.
        Penetapan anggaran Pemilu sudah melalui kesepakatan dan pertimbangan bersama. Kesepakatan dan pertimbangan itu dilakukan demi terselenggarnya Pemilu secara efektif agar sesuai dengan diadakannya Pemilu. Anggaran Rp 70 miliar itu dibagi untuk penggunaan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Tangerang, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan sentra Gerakan Hukum Terpadu (Gakumdu). Di antaranya Rp 4 miliar untuk Panwaslu, Rp 4 miliar untuk Gakumdu dan sekitar Rp 60 miliar untuk KPU. Anggaran tersebut digunakan untuk dua putaran. Jumlah kecamatan yang ada di Kota Tangerang sebanyak 13 kecamatan, sedangkan jumlah kelurahan sebanyak 104 kelurahan. Sehingga, anggaran senilai Rp. 70 M dirasa sudah sesuai.
            Namun, yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah anggaran sebesar Rp. 70 M tidak terlalu besar jika ke belakang bahwa kebutuhan dan rencana daerah bukan hanya soal Pemilu. Ada kebutuhan dan ada rencana lain yang harus dilakukan oleh daerah. Seperti pembangunan dan lain sebagainya. Anggaran senilai Rp. 70 M memang diperlukan demi terselenggaranya Pilkada, namun, perlu dipertimbangkan kembali menyangkut kebutuhan lain yang harus dipenuhi pemerintah daerah. Jangan sampai dengan anggaran Pilkada yang besar, justru menjadi penghambat bagi pembangunan daerah, sehingga wilayah kota menjadi tidak bisa berkembang. Dan dengan dikucurkannya dana Pilkada sebesar Rp. 70 M, diharapkan Pilkada bisa berjalan secara lancar dan demokratis, agar dana yang telah diberikan tidak terbuang sia-sia.
BAB V
KESIMPULAN
            Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu kata “demos” dan “cratos”. Demos artinya penduduk dan kratos artinya kekuasaan. oleh karena itu, demokrasi dapat diartikan ‘kekuasaan ada di tangan rakyat’. Dalam system demokrasi, rakyat adalah yang berkuasa dan paling berdaulat. Di Indonesia di dalam “pemerintahan desa” dikenal adanya demokrasi secara langsung. Di desa-desa seperti di Jawa Tengah misalnya, dikenal adanya lembaga “selapanan” yaitu rapat desa yang diadakan pada setiap hari dengan pasaran tertentu. Di dalam rapat selapan ini, setiap penduduk desa diperekenankan menghadiri untuk  membicarakan masalah-masalah desa. Sementara hubungan antara islam dan demokrasi biasanya merujuk pada konsep musyawarah dan sebagainya. Kebudayaan seperti di Indonesia yang gotong royong , paternalism, musyawarah mufakat, melahirkan demokrasinya sendiri yang dianggap sebagai pengejawantahan kebudayaan. Dalam hal ini ada dua model demokrasi, yaitu model keluarga, musyawarah dalam member kata terakhir dan model pemerintahan desa yang komunal, gotong royong. Sementara bukti adanya demokrasi yang terjadi di Barat, seperti Perancis adalah bahwa masalah yang harus diselesaikan bukanlah hal perpecahan yang selalu ada dalam masyarakat Perancis, dan bukan masalah perjuangan kelas. Bangsa Perancis akan tetap terpecah belah di dalam berbagai ideology. Tetapi dari contoh yang terjadi dalam demokrasi industry lainnya, peningkatan telah menguntungkan perkembangan kelompok pusat yang besar, yang memang sudah merupakan mayoriyas yang berciri khusus .
            Pelaksanaan Pilkada di Kota Tanggerang bisa dibilang sudah mencerminkan adanya demokrasi permusyawaratan. Anggaran sebesar Rp. 70 M digunakan demi terselenggaranya Pemilu yang efektif dan efisien serta mempermudah panitian Pemilu dalam menjalankan Pemilu. Namun, dengan anggaran sebesar itu, diharapkan pemerintah tidak melupakan kepentingan lain dari daerah, seperti rencana pembangunan daerah dan perbaikan sarana prasarana umum, demi mensejahterakan masyarakat. Jangan sampai dana yang dimiliki daerah hanya bisa terealisasi dalam bentuk Pemilu. Pengadaan Pemilu memang sangat penting demi terselenggaranya pemerintahan kota yang demokrasi, namun kesejahteraan masyarakat tetap harus diutamakan.


DAFTAR PUSTAKA

D’Estaing, V. Giscard, 1981, Demokrasi Perancis, UI-Press, Depok
Hardiman, F. Budi, 2009, Demokrasi Deliberatif, Kanisius, Yogyakarta
Iskandar, A. Muhaimin, 2004, Gus Dur yang Saya Kenal, PT. LKiS Pelangi,
Joeniarto, 1982, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Bina Aksara, Jakarta
Magee, Bryan, 2008, The Story of Philosophy, Kanisius, Yogyakarta
Mariana, Dede dan Paskarina, Caroliine, 2008, Demokrasi dan Politik Desentralisasi, Graha Ilmu, Yogyakarta
Mahasin, Aswab, 2000, Menyemai Kultur Demokrasi, LP3ES, Jakarta
Murniati, A. Nunuk P., 2004, Getar Gender, Indonesia Tera, Magelang
Nurdiaman, Aa, Pendidikan Kewarganegaraan: Kecakapan Berbangsa dan Bernegara, PT. Grafindo Media Pratama, Bandung
Sahdani, Gregorius, 2004, Jalan Transisi Demokrasi, Pondok Edukasi, Bantul
Wattimena, Rezza A. A, 2007, Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius, Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar