Pages


widget

Kamis, 26 Februari 2015

Gender dan Pendidikan

Seperti dalam ranah lain, dalam dunia pendidikan pun terdapat pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan tersebut berakar dari budaya patriarki yang dikonstruksi masyarakat., dimana pendidikan lebih diperuntukkan bagi laki-laki daripada perempuan.  Ketidakadilan gender lebih sering terjadi pada perempuan, dimana akses perempuan untuk mencapai dunia pendidikan sangat terbatas, dikarenakan stereotype dari masyarakat itu sendiri bahwa perempuan hanya akan menjadi ibu rumah tangga sehingga tidak memerlukan pendidikan yang tinggi, sedangkan laki-laki harus memiliki pendidikan tinggi karena laki-laki nantinya akan menjadi kepala rumah tangga dan mencari nafkah untuk keluarganya.
            Contoh ketidakadilan gender dalam dunia pendidikan terletak pada perlakuan guru terhadapan siswa laki-laki dan perempuan. Siswa perempuan diharuskan berlaku sopan sedangkan siswa laki-laki jika bertengkar dengan temannya tidak boleh menangis. Padahal siswa yang harus berlaku sopan tidak hanya perempuan, tapi laki-laki juga harus berlaku sopan, siswa laki-laki pun seharusnya diperbolehkan untuk menangis. Peran yang oleh masyarakat harus dilakukan oleh jenis kelamin laki-laki dan perempuan hanya merupakan konstruksi masyarakat itu sendiri. Laki-laki laki diharuskan memiliki sifat tegas dan kuat, sedangkan perempuan harus memiliki sifat lembut dan sopan.
            Dalam praktek pembelajaran, seperti dalam buku-buku anak SD seringkali ditemukan gambar-gambar yang yang menunjukkan ketidaksetaraan gender. Misalnya gambar seorang polisi selalu berjenis kelamin laki-laki, sedangkan gambar seorang guru selalu berjenis kelamin perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa profesi sebagai polisi hanya boleh dimiliki oleh seorang laki-laki sedangkan perempuan hanya cocok menjadi seorang guru.
Pendidikan untuk perempuan adalah kunci untuk memajukan hidup perempuan. Pendidikan untuk perempuan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pandangan feminis tentang pendidikan dilihat dari berbagai aspek. Terutama feminis menekankan adanya pengaruh politik makro dan mikro yang membentuk dan memproduksi pendidikan dan gender. Tantangannya adalah bagaimana politik makro tidak menghambat kemajuan perempuan dan terus dapat dikritisi sehingga menciptakan ruang yang aman bagi perempuan untuk belajar dan meraih masa depan yang lebih baik.

Perempuan yang bekerja di dunia pendidikan juga seringkali mendapatkan posisi yang tidak setara dengan laki-laki. Jabatan sebagai kepala sekolah lebih banyak dipegang oleh laki-laki, sementara perempuan menempati posisi yang lebih rendah. Keberadaan laki-laki sebagai pemimpin/kepala sekolah merupakan konstruksi dari agama yang menyebutkan bahwa perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin, karena perempuan memiliki sifat yang lemah dan emosional, sehingga dalam bekerja perempuan akan lebih menggunakan perasaan daripada pemikiran.

0 komentar:

Posting Komentar