Seperti dalam ranah lain, dalam dunia pendidikan pun
terdapat pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan tersebut berakar
dari budaya patriarki yang dikonstruksi masyarakat., dimana pendidikan lebih
diperuntukkan bagi laki-laki daripada perempuan. Ketidakadilan gender lebih sering terjadi pada
perempuan, dimana akses perempuan untuk mencapai dunia pendidikan sangat
terbatas, dikarenakan stereotype dari masyarakat itu sendiri bahwa perempuan
hanya akan menjadi ibu rumah tangga sehingga tidak memerlukan pendidikan yang
tinggi, sedangkan laki-laki harus memiliki pendidikan tinggi karena laki-laki
nantinya akan menjadi kepala rumah tangga dan mencari nafkah untuk keluarganya.
Contoh
ketidakadilan gender dalam dunia pendidikan terletak pada perlakuan guru
terhadapan siswa laki-laki dan perempuan. Siswa perempuan diharuskan berlaku
sopan sedangkan siswa laki-laki jika bertengkar dengan temannya tidak boleh menangis.
Padahal siswa yang harus berlaku sopan tidak hanya perempuan, tapi laki-laki
juga harus berlaku sopan, siswa laki-laki pun seharusnya diperbolehkan untuk
menangis. Peran yang oleh masyarakat harus dilakukan oleh jenis kelamin
laki-laki dan perempuan hanya merupakan konstruksi masyarakat itu sendiri.
Laki-laki laki diharuskan memiliki sifat tegas dan kuat, sedangkan perempuan
harus memiliki sifat lembut dan sopan.
Dalam
praktek pembelajaran, seperti dalam buku-buku anak SD seringkali ditemukan gambar-gambar
yang yang menunjukkan ketidaksetaraan gender. Misalnya gambar seorang polisi
selalu berjenis kelamin laki-laki, sedangkan gambar seorang guru selalu
berjenis kelamin perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa profesi sebagai
polisi hanya boleh dimiliki oleh seorang laki-laki sedangkan perempuan hanya
cocok menjadi seorang guru.
Pendidikan untuk perempuan adalah kunci untuk
memajukan hidup perempuan. Pendidikan untuk perempuan mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pandangan feminis tentang
pendidikan dilihat dari berbagai aspek. Terutama feminis menekankan adanya
pengaruh politik makro dan mikro yang membentuk dan memproduksi pendidikan dan
gender. Tantangannya adalah bagaimana politik makro tidak menghambat kemajuan perempuan
dan terus dapat dikritisi sehingga menciptakan ruang yang aman bagi perempuan
untuk belajar dan meraih masa depan yang lebih baik.
Perempuan yang bekerja di dunia pendidikan juga
seringkali mendapatkan posisi yang tidak setara dengan laki-laki. Jabatan
sebagai kepala sekolah lebih banyak dipegang oleh laki-laki, sementara
perempuan menempati posisi yang lebih rendah. Keberadaan laki-laki sebagai
pemimpin/kepala sekolah merupakan konstruksi dari agama yang menyebutkan bahwa
perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin, karena perempuan memiliki sifat
yang lemah dan emosional, sehingga dalam bekerja perempuan akan lebih
menggunakan perasaan daripada pemikiran.
0 komentar:
Posting Komentar