Pages


widget

Kamis, 26 Februari 2015

Homeschooling: Alternatif Pendidikan Humanistik

Pendidikan yang seharusnya mencerdaskan, membebaskan, dan memanusiakan manusia dari belenggu kebodohan dan kemiskinan, pada faktanya menjadi ladang pembodohan, perbudakan dan sarana yang paling absah untuk membunuh sisi kemanusiaan seseorang. Ada beberapa hal yang menjadikan pendidikan semakin melenceng dan tidak sesuai dengan cita-cita idealnya.
Pertama, kecenderungan pendidikan yang semain elitis dan tak terjangkau oleh rakyat miskin. Saya setuju dengan pendapat ini. Pendidikan di Indonesia memang dinilai mahal, jika kita menghitung pendapatan rata-rata penduduk Indonesia. Masih banyak anak dari keluarga miskin yang tidak bis mengenyam pendidikan dikarenakan biaya pendidikan yang sangat mahal. Jika pun ada, mereka hanya mmapu bersekolah di sekolah yang memiliki kualitas dan sarana prasarana yang terbatas. Sekolah dengan kualitas yang layak hanya bisa didapatkan oleh siswa dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke atas. Pemberian bantuan kepada siswa miskin juga dinilai tidak tepat sasaran. Banyak siswa dari keluarga miskin yang tidak memperoleh bantuan tersebut, namun justru siswa dari keluarga mampu yang memperoleh beasiswa tersebut.
Kedua, manajemen pendidikan yang masih birokratis dan hegemonik. System birokrasi yang berlaku di sekolah dinilai tidak mampu untuk mempermudah proses belajar siswa, justru semakin mempersulit siswa. Terutama jika menyangkut maslah keuangan. Beasiswa yang seharusnya memang diperuntukkan bagi siswa yang kurang mampu tidak langsung diberikan kepada mereka yang memang memiliki hak atas beasiswa tersebut, tapi harus melalui beberapa proses dan tahapan yang dinilai mempersulit siswa untuk memperoleh beasiswa. Manajemen pendiidkan juga dinilai terlalu memaksakan dan mengekang siswa, sehingga siswa harus patuh dan terhadap peraturan yang sudah ditetapkan oleh pihak sekolah.
Contoh konkritnya adalah ketika di suatu sekolah terdapat dua program pendidikan, yaitu unggulan dan regular. Siswa dari program unggulan biasanya berasal dari keluarga menengah ke atas, sedangkan program regular diperuntukkan bagi siswa dengan perekonomian menengah ke bawah, karena program unggulan memerluan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan program regular. Siswa dari program unggulan diwajibkan untuk mengambil jurusan IPA, karena siswa dari jurusan IPA dianggap pintar. Padahal tidak semua siswa dari program unggulan itu pintar dan tidak semua siswa yang pintar juga ingin mengambil jurusan IPA. Sistem ini juga berlaku bagi seluruh siswa bahkan di program regular juga. Dimana siswa yang dianggap  pintar harus mengambil jurusan IPA sedangkan yang dianggap kurang pintar harus mengambil jurusan IPS atau Bahasa. Sekolah yang seharusnya menjadai sarana bagi siswa untuk menyalurkan minat dan bakatnya justru membelenggu dan mengekang siswa dengan aturan dan system yang sudah ditetapkan, sehingga siswa tidak bisa menembangkan dan menyalurkan kemampuannya.
System pendidikan dapat diandaikan sebuah “bank” dimana pelajar diberikan ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Proses pembelajaran seperti itu menjadi wahana pembelengguan kreativitas siswa. Selain itu sekolah lebih menitik beratkan pada hasil yang ingin dicapi daripada proses pembelajaran. Sekolah, saat ini hanya menjadi lembaga reproduksi kesenjangan sosial.
Kelas atas lebih diuntungkan oleh system sekolah dan lebih siap bersaing karena budaya lebih dekat dengan habitus mereka, sedangkan mereka yang dari kalangan bawah sudah mengalami banyak hambatan, apalagi pembelajaran untuk pengambnagan intelektual dan kepribadian. Guru yang merupakan sosok yang harus dijadikan panutan, menempati posisi sebagai penerus kebijakna politik dan mempertahankan status quo daripada perannya sebagai teman, sahabat maupun pendamping bagi siswa yang mampu mengoptimalkan potensinya sebagai subjek dalam belajar.
Melihat kondisi realitas pendidikan di sekolah kita pada dewasa ini yang sedimikan parahnya, manimbulkan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan, selain itu pendidikan semakin tidak terjangkau oleh mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Mereka merasa kesulitan mencari sekolah yang murah, dan tidak jarang dari mereka yang akhirnya tidak menyekolahkna ana-anaknya karena beban biaya yang sangat mahal meskipun mereka melihat buah hati mereka sangat senang bersekolah dan belajar.
Denagn system pembelajaran yang sedemikian rupa, ada salah satu model pembelajaran yang bisa dijadikan laternatif untuk belajar adalah dengan model pembelajaran homeschooling. Homeschooling merupakan model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya sengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Menurut Sumardiono (2007: 21-23) pendekatan yang digunakan homeschooling dalam proses pembelajaran memiliki rentang yang lebar antara yang sangat tidak terstruktur hingga yang sangat terstruktur, seperti di sekolah. Dengan metode homeschooling peserta didik lebih bebas dalam mengekspresikan karya-karya mereka dan membuat mereka tidak tergantung pada orang lain, karena pada dasarnya peserta didik memiliki kecenderungan dan kebutuhan dasar untuk mengembangkan potensinya semaksimal mungkin, seorang guru atau orang tua sifatnya hanya mendampingi, membimbing serta memfasilitasi anak untuk belajar, proses belajar sepenuhnya disesuaikan dengan kebutuhan anak.
Saya setuju dengan adanya program homeschooling, karena dengan adanya homeschooling siswa lebih bisa menyalurkan minat dan bakatnya dalam dunia pendiidka. Tidak ada lagi kekangan yang mengharuskna siswa mengambil jurusan tertentu. Namun, homeschooling memiliki kelemahan-kelemahan sebagai berikut: membutuhkna komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orang tua; memiliki kompleksitas yang lebih tinggi Karena orang tua harus bertanggungjawab atas keseluruhan proses pendidikan anak; keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sabaya relative rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim, organisasi dan kepemimpinan; proteksi berlebihan dari orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi darn masalah sosial yang kompleks yang tidak terprediksi.
Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi berbagai persoalan pendidikan si Indonesia, berdirilah sebuah sekolah alternative di desa Kalibening kabupaten Salatiga yang diberi nama Qaryah Thayyibah. Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah ini menggunakan system homeschooling atau sekolah rumah karena bertempat di salah satu rumah penduduk setempat dan berbasis pada komunitas.
Ide pembuatan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah (QT) di Desa Kalibening, Salatiga, berangkat dari keprihatinan Bahruddin, warga desa setempat yang kini menjabat sebagai kepala di sekolah tersebut atas mahalnya biaya pendidikan. Melihat kondisi desanya itu, Bahruddin menginginkan adanya perubahan dan dia pun segera memutuskan untuk mendirikan sekolah tingkat SMP untuk membantu warga miskin mengakses pendidikan murah dan berkualitas. Melalui musyawarah dengan warga setempat, disepakati bersama untuk membuat sekolah alternative Qaryah Thayyibah yang kurikulumnya tetap disasarkan pada kurikulum nasional (kurnas).
Meski mengadopsi kurnas, Bahruddin lebih menggunakan pendekatan pendidikan yang membebaskan, artinya siswa diberi kebebasan untuk berperan aktif dalam kelas. Dengan model pembelajaran seperti ini siswa merasa sangat senang dan di sisi lain orang tua siswa pun merasa sangat antusias menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Selain jaraknya yang sangat dekat dengan rumah penduduk, sekolah ini juga menerapkan biaya yang sangat murah itupun berdasarkan kesepakatan dengan warga. Pendidikan yang berbasis komunitas ini memiliki prinsip-prinsip dasar yang diterapkan yaitu: membebaskan, keberpihakan, partisipatif, kurikulum berbasis kebutuhan, kerjasama, system evaluasi berpusat pada subjek didik, serta kepercayaan diri.
Strategi pengembangan pembelajaran di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah antara lain: Active Learning, yaitu suatu metode pembelajaran dengan memposisikan siswa sebagai subjek dalam pembelajaran; Siswa sebagai actor yang bebas, dimana siswa diberi kepercayaan untuk merasa bangga dengan yang dimilikinya tanpa harus merasa terpaksa atau dipaksa; Kurikulum sekolah yang menjadi standar nasional dilihat sebagai kompetensi atau tujuan pembelajaran, yang kemudian dikembangkan dalam metode dan strategi pembelajaran aktif yang menjadi pijakannya, di samping itu ada beberapa kurikulum yang dikembangkan secara optimal seperti bahasa; peran guru di sekolah sebagai teman atau sahabat yang memfasilitasi siswa dalam proses pembelajaran; sarana dan prasaran ayng ada di sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah semuanya bersifat sederhana, karena sekolah ini tidak menyandarkan mutunya pada  berbagai fasilitas belajar  akan tetapi lebih kepada proses pembelajaran itu sendiri. Fungsi guru di sekolah ini lebih ditekankan sebagai motivator, dinamisator, dan apresiator atas karya ana apapun hasilnya.
Guru sangat disarankan untuk mengikuti selera anak sebatas selera itu tidak berdampak pada kerusakan diri dan orang lain, ketika selera anak tidak sesuai dengan guru maka seorang guru harus berusaha mengalahkan dirinya. Ketika ada anak yang melanggar kesepakatan maka guru bisa menjatuhkan hukuman pada anak. Hukuman yang tidak bisa ditinggalkan adalah membuat karya. Dalam hal ini apabila pelanggaran itu menyangkut perilaku anak yang menyakiti orang lain, hukumannya ditambah dengan menyelesaikan dan mempertanggungjawabkan pada korban akibat perilaku anak.
 Ada beberapa alasan yang membuat saya setuju dengan adanya homeschooling atau Sekoloah Alternatif Qaryah Thayyibah. Dengan model pembelajaran homeschooling maka peserta didik tidak merasa terkekang oleh system dan birokrasi yang mengikat di lembaga pendidikan. Siswa bebas berekspresi dan menyalurkan minat bakatnya sesuai dengan yang mereka sukai. Lembaga pendidikan juga tidak bisa mengontrol secara penuh apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan peserta didik, karena control akan lebih banyak dilakukan oleh orang tua siswa itu sendiri. Siswa tidak akan merasa dipaksa atau terpaksa untuk belajar atau mengambil jurusan tertentu karena siswa bebas memilih jurusan atau mempelajari mata pelajaran apa yang ia sukai. Biaya yang dikeluarkan juga bisa disesuaikna dengan kondisi perekonomian keluarga, sehingga tidak dikhawatirkan akan memberatkan orang tua siswa. Namun di sisi lain, ada beberapa alasan yang membuat homeschooling memiliki nilai minus, yakni ketika siswa mengambil pendidikan homeschooling maka siswa akan kurang bisa bersosialisasi dengan masyarakat, karena siswa hanya belajar sendiri bersama gurunya. Siswa juga tidak memiliki kemampuan bekerja secara bersama-sama (team work) karean kesehariannya yang terbiasa bekerja sendiri. Siswa jadi kurang memiliki banyak teman, jika dibandingkan dengan anak-anak seumurannya yang belajar di sekolah konvensional. Siswa juga tidak akan merasakan pengalaman bersama teman-teman sebayanya.
Sama halnya dengan homeschooling, saya juga setuju dengan metode yang diterapkan oleh sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah. Sekolah yang sangat memperhitungkan bagaimana keadaan ekonomi masyarakat dan kebutuhan masyarakaat akan pendidikan. Dengan biaya yang sangat rendah, siswa dari keluarga yang tidak mampu bisa mengenyam pendidikan yang benar-benar dibutuhkannya untuk bertahan di masyarakat.

Jika dibandingkan dengan homeschooling secara konvensional, saya lebih mendukng adanya sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah. Karena sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah berorientasi pada kebutuhan komunitas, bukan hanya individu. Jadi seiswa tetap bisa belajar bersama  teman-teman sebayanya. Karena adanya pembauran Siswa juga memiliki kemampuan bekerja dengan tim seperti pada sekolah-sekolah pada umumnya. Disamping  itu, meskipun fasilitas yang diberikan sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah tergolong sederhana, namun siswa memperoleh fasilitas pendidikan yang benar-benar dibutuhkannya, berupa computer dan akses internet 24 jam bagi tiap siswa

0 komentar:

Posting Komentar