Pendidikan yang seharusnya mencerdaskan, membebaskan,
dan memanusiakan manusia dari belenggu kebodohan dan kemiskinan, pada faktanya
menjadi ladang pembodohan, perbudakan dan sarana yang paling absah untuk
membunuh sisi kemanusiaan seseorang. Ada beberapa hal yang menjadikan
pendidikan semakin melenceng dan tidak sesuai dengan cita-cita idealnya.
Pertama, kecenderungan pendidikan yang semain elitis dan tak
terjangkau oleh rakyat miskin. Saya setuju dengan pendapat ini. Pendidikan di
Indonesia memang dinilai mahal, jika kita menghitung pendapatan rata-rata
penduduk Indonesia. Masih banyak anak dari keluarga miskin yang tidak bis
mengenyam pendidikan dikarenakan biaya pendidikan yang sangat mahal. Jika pun
ada, mereka hanya mmapu bersekolah di sekolah yang memiliki kualitas dan sarana
prasarana yang terbatas. Sekolah dengan kualitas yang layak hanya bisa didapatkan
oleh siswa dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke atas. Pemberian
bantuan kepada siswa miskin juga dinilai tidak tepat sasaran. Banyak siswa dari
keluarga miskin yang tidak memperoleh bantuan tersebut, namun justru siswa dari
keluarga mampu yang memperoleh beasiswa tersebut.
Kedua, manajemen pendidikan yang masih birokratis dan
hegemonik. System birokrasi yang berlaku di sekolah dinilai tidak mampu untuk
mempermudah proses belajar siswa, justru semakin mempersulit siswa. Terutama
jika menyangkut maslah keuangan. Beasiswa yang seharusnya memang diperuntukkan
bagi siswa yang kurang mampu tidak langsung diberikan kepada mereka yang memang
memiliki hak atas beasiswa tersebut, tapi harus melalui beberapa proses dan
tahapan yang dinilai mempersulit siswa untuk memperoleh beasiswa. Manajemen
pendiidkan juga dinilai terlalu memaksakan dan mengekang siswa, sehingga siswa
harus patuh dan terhadap peraturan yang sudah ditetapkan oleh pihak sekolah.
Contoh konkritnya adalah ketika di suatu sekolah
terdapat dua program pendidikan, yaitu unggulan dan regular. Siswa dari program
unggulan biasanya berasal dari keluarga menengah ke atas, sedangkan program
regular diperuntukkan bagi siswa dengan perekonomian menengah ke bawah, karena
program unggulan memerluan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan program
regular. Siswa dari program unggulan diwajibkan untuk mengambil jurusan IPA,
karena siswa dari jurusan IPA dianggap pintar. Padahal tidak semua siswa dari
program unggulan itu pintar dan tidak semua siswa yang pintar juga ingin
mengambil jurusan IPA. Sistem ini juga berlaku bagi seluruh siswa bahkan di
program regular juga. Dimana siswa yang dianggap pintar harus mengambil jurusan IPA sedangkan
yang dianggap kurang pintar harus mengambil jurusan IPS atau Bahasa. Sekolah
yang seharusnya menjadai sarana bagi siswa untuk menyalurkan minat dan bakatnya
justru membelenggu dan mengekang siswa dengan aturan dan system yang sudah
ditetapkan, sehingga siswa tidak bisa menembangkan dan menyalurkan
kemampuannya.
System pendidikan dapat diandaikan sebuah “bank”
dimana pelajar diberikan ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan
hasil dengan lipat ganda. Proses pembelajaran seperti itu menjadi wahana
pembelengguan kreativitas siswa. Selain itu sekolah lebih menitik beratkan pada
hasil yang ingin dicapi daripada proses pembelajaran. Sekolah, saat ini hanya
menjadi lembaga reproduksi kesenjangan sosial.
Kelas atas lebih diuntungkan oleh system sekolah dan
lebih siap bersaing karena budaya lebih dekat dengan habitus mereka, sedangkan mereka
yang dari kalangan bawah sudah mengalami banyak hambatan, apalagi pembelajaran
untuk pengambnagan intelektual dan kepribadian. Guru yang merupakan sosok yang
harus dijadikan panutan, menempati posisi sebagai penerus kebijakna politik dan
mempertahankan status quo daripada
perannya sebagai teman, sahabat maupun pendamping bagi siswa yang mampu
mengoptimalkan potensinya sebagai subjek dalam belajar.
Melihat kondisi realitas pendidikan di sekolah kita
pada dewasa ini yang sedimikan parahnya, manimbulkan rasa ketidakpercayaan
masyarakat terhadap kualitas pendidikan, selain itu pendidikan semakin tidak
terjangkau oleh mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Mereka merasa
kesulitan mencari sekolah yang murah, dan tidak jarang dari mereka yang
akhirnya tidak menyekolahkna ana-anaknya karena beban biaya yang sangat mahal
meskipun mereka melihat buah hati mereka sangat senang bersekolah dan belajar.
Denagn system pembelajaran yang sedemikian rupa, ada salah
satu model pembelajaran yang bisa dijadikan laternatif untuk belajar adalah
dengan model pembelajaran homeschooling. Homeschooling
merupakan model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung
jawab sendiri atas pendidikan anaknya sengan menggunakan rumah sebagai basis
pendidikannya. Menurut Sumardiono (2007: 21-23) pendekatan yang digunakan homeschooling dalam proses pembelajaran
memiliki rentang yang lebar antara yang sangat tidak terstruktur hingga yang
sangat terstruktur, seperti di sekolah. Dengan metode homeschooling peserta didik lebih bebas dalam mengekspresikan
karya-karya mereka dan membuat mereka tidak tergantung pada orang lain, karena
pada dasarnya peserta didik memiliki kecenderungan dan kebutuhan dasar untuk
mengembangkan potensinya semaksimal mungkin, seorang guru atau orang tua
sifatnya hanya mendampingi, membimbing serta memfasilitasi anak untuk belajar,
proses belajar sepenuhnya disesuaikan dengan kebutuhan anak.
Saya setuju dengan adanya program homeschooling, karena dengan adanya homeschooling siswa lebih bisa menyalurkan minat dan bakatnya dalam
dunia pendiidka. Tidak ada lagi kekangan yang mengharuskna siswa mengambil
jurusan tertentu. Namun, homeschooling memiliki
kelemahan-kelemahan sebagai berikut: membutuhkna komitmen dan tanggung jawab
tinggi dari orang tua; memiliki kompleksitas yang lebih tinggi Karena orang tua
harus bertanggungjawab atas keseluruhan proses pendidikan anak; keterampilan
dan dinamika bersosialisasi dengan teman sabaya relative rendah; ada resiko
kurangnya kemampuan bekerja dalam tim, organisasi dan kepemimpinan; proteksi
berlebihan dari orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan
menyelesaikan situasi darn masalah sosial yang kompleks yang tidak terprediksi.
Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi berbagai
persoalan pendidikan si Indonesia, berdirilah sebuah sekolah alternative di
desa Kalibening kabupaten Salatiga yang diberi nama Qaryah Thayyibah. Sekolah
Alternatif Qaryah Thayyibah ini menggunakan system homeschooling atau sekolah rumah karena bertempat di salah satu
rumah penduduk setempat dan berbasis pada komunitas.
Ide pembuatan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah (QT) di
Desa Kalibening, Salatiga, berangkat dari keprihatinan Bahruddin, warga desa
setempat yang kini menjabat sebagai kepala di sekolah tersebut atas mahalnya
biaya pendidikan. Melihat kondisi desanya itu, Bahruddin menginginkan adanya
perubahan dan dia pun segera memutuskan untuk mendirikan sekolah tingkat SMP
untuk membantu warga miskin mengakses pendidikan murah dan berkualitas. Melalui
musyawarah dengan warga setempat, disepakati bersama untuk membuat sekolah
alternative Qaryah Thayyibah yang kurikulumnya tetap disasarkan pada kurikulum
nasional (kurnas).
Meski mengadopsi kurnas,
Bahruddin lebih menggunakan pendekatan pendidikan yang membebaskan, artinya
siswa diberi kebebasan untuk berperan aktif dalam kelas. Dengan model
pembelajaran seperti ini siswa merasa sangat senang dan di sisi lain orang tua
siswa pun merasa sangat antusias menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Selain
jaraknya yang sangat dekat dengan rumah penduduk, sekolah ini juga menerapkan
biaya yang sangat murah itupun berdasarkan kesepakatan dengan warga. Pendidikan
yang berbasis komunitas ini memiliki prinsip-prinsip dasar yang diterapkan
yaitu: membebaskan, keberpihakan, partisipatif, kurikulum berbasis kebutuhan,
kerjasama, system evaluasi berpusat pada subjek didik, serta kepercayaan diri.
Strategi pengembangan pembelajaran di SMP Alternatif
Qaryah Thayyibah antara lain: Active
Learning, yaitu suatu metode pembelajaran dengan memposisikan siswa sebagai
subjek dalam pembelajaran; Siswa sebagai actor yang bebas, dimana siswa diberi
kepercayaan untuk merasa bangga dengan yang dimilikinya tanpa harus merasa
terpaksa atau dipaksa; Kurikulum sekolah yang menjadi standar nasional dilihat
sebagai kompetensi atau tujuan pembelajaran, yang kemudian dikembangkan dalam
metode dan strategi pembelajaran aktif yang menjadi pijakannya, di samping itu
ada beberapa kurikulum yang dikembangkan secara optimal seperti bahasa; peran
guru di sekolah sebagai teman atau sahabat yang memfasilitasi siswa dalam
proses pembelajaran; sarana dan prasaran ayng ada di sekolah Alternatif Qaryah
Thayyibah semuanya bersifat sederhana, karena sekolah ini tidak menyandarkan
mutunya pada berbagai fasilitas
belajar akan tetapi lebih kepada proses
pembelajaran itu sendiri. Fungsi guru di sekolah ini lebih ditekankan sebagai
motivator, dinamisator, dan apresiator atas karya ana apapun hasilnya.
Guru sangat disarankan untuk mengikuti selera anak
sebatas selera itu tidak berdampak pada kerusakan diri dan orang lain, ketika
selera anak tidak sesuai dengan guru maka seorang guru harus berusaha
mengalahkan dirinya. Ketika ada anak yang melanggar kesepakatan maka guru bisa
menjatuhkan hukuman pada anak. Hukuman yang tidak bisa ditinggalkan adalah
membuat karya. Dalam hal ini apabila pelanggaran itu menyangkut perilaku anak
yang menyakiti orang lain, hukumannya ditambah dengan menyelesaikan dan
mempertanggungjawabkan pada korban akibat perilaku anak.
Ada beberapa
alasan yang membuat saya setuju dengan adanya homeschooling atau Sekoloah Alternatif Qaryah Thayyibah. Dengan
model pembelajaran homeschooling maka
peserta didik tidak merasa terkekang oleh system dan birokrasi yang mengikat di
lembaga pendidikan. Siswa bebas berekspresi dan menyalurkan minat bakatnya
sesuai dengan yang mereka sukai. Lembaga pendidikan juga tidak bisa mengontrol
secara penuh apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan peserta didik, karena
control akan lebih banyak dilakukan oleh orang tua siswa itu sendiri. Siswa
tidak akan merasa dipaksa atau terpaksa untuk belajar atau mengambil jurusan
tertentu karena siswa bebas memilih jurusan atau mempelajari mata pelajaran apa
yang ia sukai. Biaya yang dikeluarkan juga bisa disesuaikna dengan kondisi
perekonomian keluarga, sehingga tidak dikhawatirkan akan memberatkan orang tua
siswa. Namun di sisi lain, ada beberapa alasan yang membuat homeschooling memiliki nilai minus,
yakni ketika siswa mengambil pendidikan homeschooling
maka siswa akan kurang bisa bersosialisasi dengan masyarakat, karena siswa
hanya belajar sendiri bersama gurunya. Siswa juga tidak memiliki kemampuan
bekerja secara bersama-sama (team work)
karean kesehariannya yang terbiasa bekerja sendiri. Siswa jadi kurang memiliki
banyak teman, jika dibandingkan dengan anak-anak seumurannya yang belajar di
sekolah konvensional. Siswa juga
tidak akan merasakan pengalaman bersama teman-teman sebayanya.
Sama halnya dengan homeschooling,
saya juga setuju dengan metode yang diterapkan oleh sekolah Alternatif
Qaryah Thayyibah. Sekolah yang sangat memperhitungkan bagaimana keadaan ekonomi
masyarakat dan kebutuhan masyarakaat akan pendidikan. Dengan biaya yang sangat
rendah, siswa dari keluarga yang tidak mampu bisa mengenyam pendidikan yang
benar-benar dibutuhkannya untuk bertahan di masyarakat.
Jika dibandingkan dengan homeschooling secara konvensional, saya lebih mendukng adanya
sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah. Karena sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah
berorientasi pada kebutuhan komunitas, bukan hanya individu. Jadi seiswa tetap
bisa belajar bersama teman-teman
sebayanya. Karena adanya pembauran Siswa juga memiliki kemampuan bekerja dengan
tim seperti pada sekolah-sekolah pada umumnya. Disamping itu, meskipun fasilitas yang diberikan
sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah tergolong sederhana, namun siswa memperoleh
fasilitas pendidikan yang benar-benar dibutuhkannya, berupa computer dan akses
internet 24 jam bagi tiap siswa
0 komentar:
Posting Komentar