Pages


widget

Kamis, 26 Februari 2015

Perempuan Dalam Ranah Politik 2

Perempuan dalam Ranah Politik
            Gerakan sosial feminisme menjadi salah satu penyebab berubahnya posisi perempuan di dunia sosial. Salah satu bentuk dari gerakan feminisme adalah tulisan-tulisan mengenai ketidakadilan gender. Cott (1977), Donovan (1985), Giddings (1984), Lerner (1993), Jossy (1974), Spender (1982) dalam Ritzer (2012: 779) menyatakan bahwa:
Di dunia Barat, karya-karya protes yang sudah diterbitkan tampak sebagai aliran tipis namun terus-menerus ada sejak 1630-an hingga 1780. Sejak saat itu tulisan feminis telah menjadi suatu usaha kolektif yang signifikan, bertumbuh baik di bidang jumlah pesertanya maupun lingkup kritiknya.
            Di Indonesia, gerakan feminisme muncul pertama  kali pada masa kolonial, dimana R.A Kartini malalui bukunya yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang berusaha memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang disebut dengan emansipasi wanita. Kemudian pada masa Orde Lama mulai muncul organisasi-organisasi perempuan. Sedangkan pada masa Orde Baru, menurut Hadiz (2004:426) “…politik Orde Baru menginginkan kepatuhan kaum perempuan Indonesia”. Politik ini mengharapkan agar kaum perempuan tidak banyak menuntut, sehingga tidak mengganggu kestabilan Negara.
            Seiring dengan kemajuan zaman, kini perempuan memiliki posisi yang setara dengan laki-laki. Perempuan tidak lagi hanya bekerja dalam ranah domestik, perempuan juga bekerja di ranah publik, ikut bekerja dan andil dalam memenuhi kebutuhan keluarga, mengambil keputusan dalam rumah tangga, dan bahkan mengambil kebijakan-kebijakan untuk Negara.
            Saat ini, akses perempuan untuk mencapai kesetaraan gender semakin terbuka lebar. Pendidikan tinggi yang diperoleh perempuan membuka kesempatan  bagi perempuan untuk turun dalam sektor publik, kemampuan dan profesionalisme perempuan mulai diperhitungkan, misalnya dalam dunia politik.
            Pada tahun 2004 pemerintah membuat kebijakan baru, yaitu memberikan 30 % kuota kursi parlemen untuk perempuan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Negara turut mendukung dan memberi kesempatan bagi wanita untuk berkembang. Negara membantu dalam terselenggaranya negara demokrasi yang adil antara laki-laki dan perempuan. Meskipun demikian, partisipasi perempuan dalam panggung politik tetap minim. Dari 30 % kursi yang tersedia, hanya 11,3 % yang terisi (Satriyani, 2008: 450).
            Menurut pendapat Bem (1993), Friedan (1963), Lorber (1994), A. Rossy (1964), Schaeffer (2001) dalam Ritzer (2012: 794-795), ketidaksetaraan gender adalah hasil pemolaan berdasarkan pembagian kerja secara seksual dan ketidaksetaraan tersebut bisa diubah dengan pemolaan kembali lembaga-lembaga kunci, seperti negara, hukum, kerja, keluarga, pendidikan, dan media. Feminisme liberal sangat mendukung jika perempuan terjun dalam sektor publik seperti dalam ranah politik, karena klaim utama feminisme liberal adalah kesetaraan gender. Ranah politik merupakan ranah dimana laki-laki yang selalu mendominasi. Dengan naiknya perempuan ke panggung politik, maka perempuan akan memperoleh kesamaan dalam hal pembagian kerja dan posisi yang setara di masyarakat. Namun, feminisme liberal tidak memaksakan perempuan untuk mengambil peran dalam ranah politik, feminisme liberal membebaskan perempuan untuk mengambil atau tidak mengambil peran itu, karena perempuan memiliki hak otonom untuk mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dan diharapkan bisa mempertanggung jawabkan pilihannya. Entah ia memilih untuk menjadi politisi atau hanya menjadi ibu rumah tangga.
            Chasten (2001), McCaughey (1997), dan Hitehead (2007) berpandanagn bahwa dalam  feminisme radikal, ketidaksetaraan gender bisa diubah dengan penggarapan kembali kesadaran perempuan, sehingga setiap perempuan bisa menyadari nilai dan kekuatannya sendiri (Ritzer, 2012: 807). Menurut pendapat para penganut feminisme radikal, penindasan yang dialami perempuan berasal dari sistem patriarki. Penindasan tersebut bukan hanya secara fisik atau menggunakan kekerasan, tapi juga melalui organisasi-organisasi yang didominasi pria untuk melawan wanita (Ritzer, 2012: 806). Dalam rangka menyadarkan perempuan akan nilai dan profesionalitas yang dimilikya dalam bidang politik, maka perlu untuk memberikan kaum perempuan pendidikan dan pemberdayaan politik yang memadai. Pemberdayaan adalah sebuah proses panjang. Pemberdayaan tidak hanya untuk individu maupun kelompok lapisan bawah, tapi juga agen pemberdayaan itu sendiri, contohnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) (Satriyani, 2008: 400). Memberikan pemberdayaan dan pendidikan politik kepada perempuan bisa dilakukan dengan cara sosialisasi, komunikasi, dan mengajak perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Dengan ikut sertanya perempuan dalam dunia politik, maka perempuan mengurangi dominasi laki-laki dalam lembaga pemerintahan. Selama ini dunia politik selalu diidentikkan dengan dunia kaum laki-laki, karena politik dinilai sebagai dunia yang kotor, keras, penuh persaingan dan intrik sehingga lebih sesuai untuk digeluti oleh laki-laki. Perempuan mulai sadar bahwa perempuan juga memiliki hak dalam menentukan kebijakan untuk negara, bukan hanya laki-laki.
            Jika dalam feminisme radikal, ketidaksetaraan gender bisa diubah dengan penggarapan kembali kesadaran perempuan akan nilai dan kekuatannya, maka dalam feminisme sosialis merupakan perpaduan antara feminisme radikal dan feminisme Marxian. Feminisme Marxian merupakan suatu kritik terhadap penindasan kaum perempuan oleh system patriarki dan kapitalis yang berpijak pada pengalaman wanita (Ritzer, 2012: 809). Menurut pandanga feminisme sosialis, laki-laki mengeksploitasi perempuan untuk melakukan kegiatan untuk menopang kehidupan, seperti seksualitas, pengasuhan anak, tugas-tugas domestic yang tidak dibayar, dll. Ketika perempuan masuk ke ranah publik, seperti politik, maka perempuan keluar atau tidak lagi hanya berada dalam sector domestik, sehingga perempuan tidak lagi mengalami eksploitasi dari kaum laki-laki.
            Mansour (1996) dalam (Sukri, 2002: 196) mengungkapkan bahwa Feminisme muslim adalah kelompok yang memandang bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat muslim, perempuan sering diperlakukan tidak adil, perempuan tidak memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki. Dalam rangka memperjuangkan perempuan dari ketidakadilan gender, maka penganut feminisme muslim berusaha mencari akar dari permasalahan yang menyebabkan ketidakadilan gender, kemudian mengkaji lebih dalam dan mengembangkan pemahaman baru terkait gender menggunakan Alqur’an dan Hadits, sebagai sumber hukum utama dalam agama islam.
            Banyak sekali ulama yang memprotes adanya gerakan feminisme muslim ini. Ulama-ulama tersebut beranggapan bahwa gerakan feminisme itu tidak diperlukan dalam islam, karena pada dasarnya dalam agama islam, kedudukan antara laki-laki dan perempuan sudah setara. Namun, dalam realitasnya, perempuan memang sering didiskriminasi oleh laki-laki, posisi antara laki-laki dan perempuan tidak setara, misalnya dalam rumah tangga, perempuan diharuskan selalu menuruti perintah laki-laki. Begitu pula dalam ranah politik, perempuan tinggal menerima kebijakan apa saja yang ditetapkan oleh permerintah yang biasanya didominasi oleh laki-laki. Sementara jumlah perempuan dalam parlemen pun jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan laki-laki.. Banyak yang berpendapat pula bahwa perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin. Di sinilah letak perjuangan feminisme muslim. Mencoba untuk memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dengan mengkaji hukum-hukum islam terkait dengan kedudukan laki-laki dan perempuan secara mendalam, tidak hanya secara tekstual, dalam artian menerima semua ajaran yang tertulis dalam Alqur’an dan Hadits secara mentah, tanpa mengkajinya lebih dalam lagi.
            Menurut pandangan feminisme muslim, perempuan diperbolehkan terjun dalam ranah politik, perempuan juga boleh menjadi pemimpin, karena dalam islam antara laki-laki dan perempuan memiliki keduudkan yang sama, dan keduanya akan memperoleh balasan atau pahala yang sesuai dengan tindakan mereka.
            Contoh dari profesionalisme kaum perempuan dalam dunia politik adalah terpilihnya 8 menteri wanita di cabinet Presiden baru  Joko Widodo. 8 menteri tersebut berasal dari kalangan yang berbeda-beda, mulai dari politisi yang sudah sangat lama dan berpengalaman bergelut dalam dunia politik seperti Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa, hingga pengusaha sukses seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Jokowi juga tidak membatasi jumlah wanita yang masuk dalam kabinetnya, berapa pun bisa masuk asalakan memenuhi syarat. Pernyataan Jokowi tersebut menandakan bahwa pemerintah turut mendukung dan member kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam dunia politik.


Daftar Pustaka
Hadiz, Liza. 2004. Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru. Pustaka LP3ES. Jakarta.
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Hingga Perkembangan Terakhir Postmodern. Edisi kedelapan. Cetakan pertama. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Satriyani, Siti Hariti. 2008. Women In Public Sector. Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Tiara Wacana. Yogyakarta.
Sukri, Sri Suhandjati. 2002. Pemahaman Islam dan Taantangan Keadilan Gender. Gama Media. Yogyakarta.
“Jokowi Incar Profesional Wanita Jadi Menterinya” http://news.metrotvnews.com/read/2014/09/17/293097/jokowi-incar-profesional-wanita-jadi-menterinya diakses pada 30 Oktober 2014, pkl. 10.22


0 komentar:

Posting Komentar