Perempuan
dalam Ranah Politik
Gerakan
sosial feminisme menjadi salah satu penyebab berubahnya posisi perempuan di
dunia sosial. Salah satu bentuk dari gerakan feminisme adalah tulisan-tulisan
mengenai ketidakadilan gender. Cott (1977), Donovan (1985), Giddings (1984),
Lerner (1993), Jossy (1974), Spender (1982) dalam Ritzer (2012: 779) menyatakan
bahwa:
Di dunia Barat, karya-karya protes yang sudah diterbitkan tampak sebagai
aliran tipis namun terus-menerus ada sejak 1630-an hingga 1780. Sejak saat itu
tulisan feminis telah menjadi suatu usaha kolektif yang signifikan, bertumbuh
baik di bidang jumlah pesertanya maupun lingkup kritiknya.
Di
Indonesia, gerakan feminisme muncul pertama
kali pada masa kolonial, dimana R.A Kartini malalui bukunya yang
berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang berusaha memperjuangkan hak-hak kaum
perempuan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang disebut dengan
emansipasi wanita. Kemudian pada masa Orde Lama mulai muncul organisasi-organisasi
perempuan. Sedangkan pada masa Orde Baru, menurut Hadiz (2004:426) “…politik
Orde Baru menginginkan kepatuhan kaum perempuan Indonesia”. Politik ini
mengharapkan agar kaum perempuan tidak banyak menuntut, sehingga tidak
mengganggu kestabilan Negara.
Seiring
dengan kemajuan zaman, kini perempuan memiliki posisi yang setara dengan
laki-laki. Perempuan tidak lagi hanya bekerja dalam ranah domestik, perempuan
juga bekerja di ranah publik, ikut bekerja dan andil dalam memenuhi kebutuhan
keluarga, mengambil keputusan dalam rumah tangga, dan bahkan mengambil
kebijakan-kebijakan untuk Negara.
Saat
ini, akses perempuan untuk mencapai kesetaraan gender semakin terbuka lebar.
Pendidikan tinggi yang diperoleh perempuan membuka kesempatan bagi perempuan untuk turun dalam sektor
publik, kemampuan dan profesionalisme perempuan mulai diperhitungkan, misalnya
dalam dunia politik.
Pada
tahun 2004 pemerintah membuat kebijakan baru, yaitu memberikan 30 % kuota kursi
parlemen untuk perempuan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Negara turut
mendukung dan memberi kesempatan bagi wanita untuk berkembang. Negara membantu
dalam terselenggaranya negara demokrasi yang adil antara laki-laki dan
perempuan. Meskipun demikian, partisipasi perempuan dalam panggung politik
tetap minim. Dari 30 % kursi yang tersedia, hanya 11,3 % yang terisi
(Satriyani, 2008: 450).
Menurut
pendapat Bem (1993), Friedan (1963), Lorber (1994), A. Rossy (1964), Schaeffer
(2001) dalam Ritzer (2012: 794-795), ketidaksetaraan gender adalah hasil
pemolaan berdasarkan pembagian kerja secara seksual dan ketidaksetaraan
tersebut bisa diubah dengan pemolaan kembali lembaga-lembaga kunci, seperti
negara, hukum, kerja, keluarga, pendidikan, dan media. Feminisme liberal sangat
mendukung jika perempuan terjun dalam sektor publik seperti dalam ranah politik,
karena klaim utama feminisme liberal adalah kesetaraan gender. Ranah politik
merupakan ranah dimana laki-laki yang selalu mendominasi. Dengan naiknya
perempuan ke panggung politik, maka perempuan akan memperoleh kesamaan dalam
hal pembagian kerja dan posisi yang setara di masyarakat. Namun, feminisme
liberal tidak memaksakan perempuan untuk mengambil peran dalam ranah politik, feminisme
liberal membebaskan perempuan untuk mengambil atau tidak mengambil peran itu,
karena perempuan memiliki hak otonom untuk mengambil keputusan untuk dirinya
sendiri dan diharapkan bisa mempertanggung jawabkan pilihannya. Entah ia
memilih untuk menjadi politisi atau hanya menjadi ibu rumah tangga.
Chasten
(2001), McCaughey (1997), dan Hitehead (2007) berpandanagn bahwa dalam feminisme radikal, ketidaksetaraan gender bisa
diubah dengan penggarapan kembali kesadaran perempuan, sehingga setiap
perempuan bisa menyadari nilai dan kekuatannya sendiri (Ritzer, 2012: 807).
Menurut pendapat para penganut feminisme radikal, penindasan yang dialami
perempuan berasal dari sistem patriarki. Penindasan tersebut bukan hanya secara
fisik atau menggunakan kekerasan, tapi juga melalui organisasi-organisasi yang
didominasi pria untuk melawan wanita (Ritzer, 2012: 806). Dalam rangka
menyadarkan perempuan akan nilai dan profesionalitas yang dimilikya dalam
bidang politik, maka perlu untuk memberikan kaum perempuan pendidikan dan
pemberdayaan politik yang memadai. Pemberdayaan adalah sebuah proses panjang.
Pemberdayaan tidak hanya untuk individu maupun kelompok lapisan bawah, tapi
juga agen pemberdayaan itu sendiri, contohnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
(Satriyani, 2008: 400). Memberikan pemberdayaan dan pendidikan politik kepada
perempuan bisa dilakukan dengan cara sosialisasi, komunikasi, dan mengajak
perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Dengan ikut sertanya perempuan dalam dunia politik,
maka perempuan mengurangi dominasi laki-laki dalam lembaga pemerintahan. Selama
ini dunia politik selalu diidentikkan dengan dunia kaum laki-laki, karena
politik dinilai sebagai dunia yang kotor, keras, penuh persaingan dan intrik
sehingga lebih sesuai untuk digeluti oleh laki-laki. Perempuan mulai sadar
bahwa perempuan juga memiliki hak dalam menentukan kebijakan untuk negara,
bukan hanya laki-laki.
Jika
dalam feminisme radikal, ketidaksetaraan gender bisa diubah dengan penggarapan
kembali kesadaran perempuan akan nilai dan kekuatannya, maka dalam feminisme
sosialis merupakan perpaduan antara feminisme radikal dan feminisme Marxian.
Feminisme Marxian merupakan suatu kritik terhadap penindasan kaum perempuan oleh
system patriarki dan kapitalis yang berpijak pada pengalaman wanita (Ritzer,
2012: 809). Menurut pandanga feminisme sosialis, laki-laki mengeksploitasi
perempuan untuk melakukan kegiatan untuk menopang kehidupan, seperti
seksualitas, pengasuhan anak, tugas-tugas domestic yang tidak dibayar, dll.
Ketika perempuan masuk ke ranah publik, seperti politik, maka perempuan keluar
atau tidak lagi hanya berada dalam sector domestik, sehingga perempuan tidak
lagi mengalami eksploitasi dari kaum laki-laki.
Mansour
(1996) dalam (Sukri, 2002: 196) mengungkapkan bahwa Feminisme muslim adalah
kelompok yang memandang bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat muslim,
perempuan sering diperlakukan tidak adil, perempuan tidak memiliki kedudukan
yang setara dengan laki-laki. Dalam rangka memperjuangkan perempuan dari
ketidakadilan gender, maka penganut feminisme muslim berusaha mencari akar dari
permasalahan yang menyebabkan ketidakadilan gender, kemudian mengkaji lebih
dalam dan mengembangkan pemahaman baru terkait gender menggunakan Alqur’an dan
Hadits, sebagai sumber hukum utama dalam agama islam.
Banyak
sekali ulama yang memprotes adanya gerakan feminisme muslim ini. Ulama-ulama
tersebut beranggapan bahwa gerakan feminisme itu tidak diperlukan dalam islam,
karena pada dasarnya dalam agama islam, kedudukan antara laki-laki dan
perempuan sudah setara. Namun, dalam realitasnya, perempuan memang sering
didiskriminasi oleh laki-laki, posisi antara laki-laki dan perempuan tidak
setara, misalnya dalam rumah tangga, perempuan diharuskan selalu menuruti
perintah laki-laki. Begitu pula dalam ranah politik, perempuan tinggal menerima
kebijakan apa saja yang ditetapkan oleh permerintah yang biasanya didominasi
oleh laki-laki. Sementara jumlah perempuan dalam parlemen pun jauh lebih
sedikit jika dibandingkan dengan laki-laki.. Banyak yang berpendapat pula bahwa
perempuan tidak diperbolehkan menjadi pemimpin. Di sinilah letak perjuangan
feminisme muslim. Mencoba untuk memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan
perempuan dengan mengkaji hukum-hukum islam terkait dengan kedudukan laki-laki
dan perempuan secara mendalam, tidak hanya secara tekstual, dalam artian
menerima semua ajaran yang tertulis dalam Alqur’an dan Hadits secara mentah,
tanpa mengkajinya lebih dalam lagi.
Menurut
pandangan feminisme muslim, perempuan diperbolehkan terjun dalam ranah politik,
perempuan juga boleh menjadi pemimpin, karena dalam islam antara laki-laki dan
perempuan memiliki keduudkan yang sama, dan keduanya akan memperoleh balasan
atau pahala yang sesuai dengan tindakan mereka.
Contoh
dari profesionalisme kaum perempuan dalam dunia politik adalah terpilihnya 8
menteri wanita di cabinet Presiden baru
Joko Widodo. 8 menteri tersebut berasal dari kalangan yang berbeda-beda,
mulai dari politisi yang sudah sangat lama dan berpengalaman bergelut dalam
dunia politik seperti Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa, hingga
pengusaha sukses seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.
Jokowi juga tidak membatasi jumlah wanita yang masuk dalam kabinetnya, berapa
pun bisa masuk asalakan memenuhi syarat. Pernyataan Jokowi tersebut menandakan
bahwa pemerintah turut mendukung dan member kesempatan bagi perempuan untuk
berpartisipasi dalam dunia politik.
Daftar
Pustaka
Hadiz, Liza. 2004. Perempuan dalam
Wacana Politik Orde Baru. Pustaka LP3ES. Jakarta.
Ritzer, George. 2012. Teori
Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Hingga Perkembangan Terakhir Postmodern. Edisi
kedelapan. Cetakan pertama. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Satriyani, Siti Hariti. 2008. Women
In Public Sector. Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan
Tiara Wacana. Yogyakarta.
Sukri, Sri Suhandjati. 2002. Pemahaman
Islam dan Taantangan Keadilan Gender. Gama Media. Yogyakarta.
“Jokowi Incar
Profesional Wanita Jadi Menterinya” http://news.metrotvnews.com/read/2014/09/17/293097/jokowi-incar-profesional-wanita-jadi-menterinya diakses pada 30 Oktober 2014, pkl. 10.22
0 komentar:
Posting Komentar