Pendiidkan inklusi pada decade ini sudah mulai menunjukkan perkembangan yang berarti dalam
upaya memenuhi hak dan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus
di Indonesia. Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk
peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar
biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus
pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Namun, komitmen untuk melaksanakan
di tataran operasional lapangan tidak mudah, banyak kendala yang muncul
berkenaan dengan kebijakan, sumber daya, teknis ataupun fasilitas yang
tersedia. Keanekaragaman anaka-anak yang berkebutuhan khusus atau anak
berkelainan juga menjadi permasalahan tersendiri di lapangan.
Disability (penyandang cacat) adalah
keadaan actual fisik, mental, dan emosi, seperti misalnya orang-orang tunanetra
atau tunarungu, yang tidak memiliki kemampuan melihat atau mendengar. Sedang handicap (memiliki hambatan) adalah
keterbatasan yang terjadi pada individu akibat adanya disability.
Anak-anak berkebutuhan khusus memiliki sisi kebutuhan yang sama dengan
anak-anak pada umumnya, terutam adalah kebutuhan dalam memperoleh pendidikan.
Hal yang demikian ini sesungguhnya sudah lama dipikirkan oleh para ahli melalui
program pembelajaran mainstreaming, yang
mencoba mengintegrasikan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal
dalam proses pembelajaran di sekolah dengan focus utama adalah integrasi fisik,
sosial. Emosi, dan intelektualnya.
Inklusi
memiliki arti yang berbeda-beda bagi tiap orang. Beberapa orang
menerjemahkannya sebagi cara baru untuk berbicara tentang mainstreaming. Bagi yang lainnya mungkin dilihat sebagai cara baru
untuk berbicara tentang mainstreaming. Bagi
yang lainnya mungkin dilihat sebagai inisiatif pendidikan regular dengan label
baru. Sebagian bahkan menggunakan istilah inklusi sebagai banner untuk menyerukan “full
inclusion” atau “uncompromising
inclusion” yang bersrti penghapusan pendidikan khusus dalam konteks
lingkungan pendidikan regular.
Secara
umum di dalam pendidikan inklusif ditandai dengan adanya siswa berkebutuhan
khusus yang belajar di sekolah umum, meskipun dengan cara-cara atau pendekatan
yang berbeda. Sedang dilihat dari bentuk pelayanannya, keduanya menunjukkan
perbedaan yang sangat prinsip. Konsep mainstreaming
atau integrasi, dimana siswa berkebutuhan khusus harus menyesuaikna diri
dengan system yang sudah ada pada institusi atau lembaga tempat belajarnya.
Sebaliknya inklusi, dimana system suatu institusi atau lembaga yang harus
menyesuaikan diri dengan kebutuhan siswa. Selain itu, integrasi lebih berfokus
pada kurikulum dan diatur oleh guru, sedangkan inklusi berpusat pada siswa, dan
dikembangkannya interaksi yang komunikatif dan dialogis.
Inklusi
lebih menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak
berebutuhan khusus. Pendidikan inklusif didefinisikan sebagai pendidikan husus
yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di
sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya.
Pendidikan inklusi mempercayai bahwa semua anak berhak mendapatan pelayanan
pendidikan yang baik sesuai dengan usia atau perkembangannya, tanpa memandang
derajat, kondisi ekonomi, ataupun kelainannya.
Anak-anak
berkebutuhan khusus memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas
sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Mereka juga memiliki hak untuk belajar
bersama dengan teman-teman sebayanya. Hanya saja, sampai saat ini pun mereka para guru dan staff sekolah masih
sedikit yang memiliki kesadaran dan kemauan untuk melakukan hal-hal tersebut. Ini sebuah tantangan dan
sekaligus ironi, bahwa telah banyak peraturan atau perundangan dibuat, namun
tidak juga dapat diimplementasikan secara konsisten di lapangan.
Perbedaan
pandangan yang terjadi sesungguhnya terkait dengan hakekat keberadaan anak
berkebutuhan khusus dan tentu saja berbeda dengan anak-anak pada umumnya.
Sebaliknya, anak-anak berkebutuhan khusus sebagaimana anak-anak pada umumnya
sebagai makhluk sosial yang hidup di tengah masyarakat umum, dengan segala hak
yang dimilikinya, maka tidak harus
dipisahkan dalam komunitas
masyarakatnya, khususnya dalam memperoleh pendidikan.
Ada
beberapa faktor yang membuat kegiatan operasional inklusi pendidikan sampai
saat ini masih rendah, diantaranya minimnya dukungan fasilitas dan sumber daya
yang tersedia menjadi kendala dalam implementasi pendidikna inklusi untuk
anak-anak usia dini. Persoalan prinsip juga menjadi kendala terselenggarnya
pendidikan inklusi di sekolah. Dimana, di satu sisi, sesuai dengan perundangan
yang ada pendidikan inklusi hanya berlaku bagi anak-anak berkebutuhan khusus
yang kemampuan intelektualnya tidak berada di bawah rata-rata. Padahal,
kenyataan di lapangan prevelensi anak-anak berkebutuhan khusus yang kemampuan
intelektual di bawah rata-rata paling banyak di antara jenis-jenis kelainan
yang lain. Sedangkan secara konsep fisiologis, sebenarnya inklusi adalah wadah
semua anak berkebutuhan khusus, termasuk diantaranya anak-anak yang kemampuan
intelektualnya berada di bawah rata-rata.
Pemerintah
harus tetap memberi perhatian dan dukungan bagi semua warganya untuk memperoleh
pendidikan yang baik, yang memungkinkan seseorang memperoleh kecerdasan sebagai individu maupun makhluk
sosial dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Penyelenggaraan pendidikan
inklusi membutuhkan dukungan semua pihak, selain pemerintah tentu masyarakat
yang terutama dalam konteks ini adalah para praktisi pendidikan, dan juga para
orangtua yang punya andil besar dalam mendidik anak-anak usia dini melalui
nasehat-nasehat, bimbingan, pengarahan ataupun interaksi yang positif dalam
lingungan keluarga.
Pendidikan
inklusi harus berorientasi pada inisiatif anak sesuai dengan perkembangan dan
pendekatan teacher-directed. Apa yang
sesungguhnya diharapakan mengenai sekolah pendidikan inklusi, adalah sekolah
umum yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Sekolah
penyelenggara pendidikan inklusi harus menciptakan lingkungan yang ramah
terhadap pembelajaran, yang memungkinkan semua siswa dapat belajar dengan
nyaman dan menyenangkan.
Saya
setuju dengan beberapa pendapat di atas. Diantaranya persamaan hak dalam
memperoleh pendidikan antara anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak
lain pada umumnya. Dimana anak-anak berkebutuhan khusus tidak seharusnya
diisolasi dari yang lan dengan disekolahkan di Sekolah Luar Biasa. Anak-anak
berkebutuhan khusus semestinya tidak dibedakan dengan anak-anak lain, dalam
artian mereka seharusnya disekolahkan di sekolah umum.
Namun,
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan jika mengambil sekolah inklusif
sebagai jalan keluar atas permasalahan mengenai menyamaratakan pendidikan untuk
anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak lain. Diantaranya:
1.
Lembaga
pendidikan
Lembaga
pendidikan sebagai sebuah wadah yang menaungi guru dan peserta didik, dan juga
membuat kebijakan menganai sekolah inklusif, sebaiknya memikirkan dengan
masak-masak apa saja yang akan menjadi hambatan diadakannya sekolah inklusif
ini, bagaimana dampaknya jika diadakan pencampuran antara anak-anak yang
memiliki kebutuhan khusus dengan tidak. Lembaga pendidikan harus merencanakan
dan mempertimbangkan banyak hal demi terselenggaranya sekolah inklusif yang
sesuai dengan tujuan diadakannya sekolah tersebut.
2.
Guru (Tenaga Pengajar)
Guru
memegang peranan penting dalam dunia pendidikan. Untuk mendidik dan mengajar
anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, diperlukan suatu keahlian teretentu.
Tidak serta-merta guru-guru di sekolah umum bisa mengajar anak-anak
berkebutuhan khusus. Apalagi dengan adanya fakta bahwa sekolah inklusif
diperuntukkan bagi semua anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, yang berarti
akan ada banyak keragaman antara anak berkebutuhan khusus yang satu dengan yang
lainnya. dibutuhkan lebih banyak kesabaran dan keuletan untuk menangani
anak-anak berkebutuhan khusus, lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk
menangani anak-anak lain secara umum. Maka demi terselenggaranya sekolah
inklusif yang sesuai dengan tujuan dicetuskannya sekolah inklusif tersebut, maka
dibutuhkan banyak kesiapan bagi guru sebelum mengajar, seperti
pelatihan-pelatihan skill tertentu.
Guru tidak hanya berperan sebagai pengajar atau pendidik, tapi guru juga harus
berperan sebagai fasilitator dan motivator anak agar anak-anak tersebut lebih
mudah dalam melakukan proses belajar.
3.
Fasilitas
pendidikan
Anak-anak
secara umum yang tidak memiliki kebutuhan khusus, dengan mudah bisa menjangkau
atau mengases fasilitas pendidikan yang ada di sekolah. Tapi tidak dengan
anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Mereka memerlukan fasilitas yang
mendukung dan mempermudahnya dalam melalui proses belajar. Setiap anak yang
memiliki kebutuhan khusus memiliki hal-hal yang menghambat dirinya untuk
melakukan proses belajar. Mulai dari akses anak-anak tersebut ke kelas sampai
proses kegiatan belajar di kelas. Maka dari itu, lembaga pendidikan harus
mempertimbangkan hal-hal apa saja yang sekiranya menjadi hambatan bagi
anak-anak berkebutuhan khusus dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Fasilitas
yang diberikan bisa berupa pengadaan lift
atau bidang miring bagi gedung yang bertingkat, agar mempermudah bagi
anak-anak yang kakinya lumpuh.
4.
Peserta didik
lain diluar anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus
Pandangan
peserta didik lain yang bukan merupakan anak-anak berkebutuhan khusus, memiliki
dampak yang sangat besar bagi anak-anak disability.
Dengan dicampurnya antara anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak
yang tidak memiliki kebutuhan khusus dalam satu lembaga pendidikan, akan
menimbulkan kesenjangan antarmerka. Beberapa dari anak-anak yang tidak memiliki
kebutuhan khsusu mungkin akan merasa enggan berkumpul atau berteman dengan anak
difabel. Begitu juga sebaliknya,
anak-anak difabel akan merasa dikucilkan oleh anak-anak lainnya, sehingga itu
akan mempengaruhi kondisi psikologis anak difabel tersebut dan akan menghambat
proses belajarnya. Maka sebelum diadakannnya sekolah inklusif, sebaiknya
dibeikan pengarahan terlebih dahulu kepada masing-masing peserta didik, agar
mereka bisa saling menerima kondisi masing-masing anak.
Beberapa
poin di atas, harus diperhatikan demi terselenggaranya sekolah inklusif yang
dicita-citakan oleh berbagai pihak. Tidak hanya melihat bagaimana manfaat yang
diperoleh bagi penyandang difabel dengan adanya sekolah ini, tapi juga mempertimbangkan
resiko yang akan diperoleh difabel dan juga pihak lain jika didirikan sekolah
inklusif bagi difabel.
0 komentar:
Posting Komentar