Pages


widget

Kamis, 26 Februari 2015

Pendidikan Inklusif Anak Usia Dini

Pendiidkan inklusi pada decade ini sudah mulai  menunjukkan perkembangan yang berarti dalam upaya memenuhi hak dan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Namun, komitmen untuk melaksanakan di tataran operasional lapangan tidak mudah, banyak kendala yang muncul berkenaan dengan kebijakan, sumber daya, teknis ataupun fasilitas yang tersedia. Keanekaragaman anaka-anak yang berkebutuhan khusus atau anak berkelainan juga menjadi permasalahan tersendiri di lapangan.
            Disability (penyandang cacat) adalah keadaan actual fisik, mental, dan emosi, seperti misalnya orang-orang tunanetra atau tunarungu, yang tidak memiliki kemampuan melihat atau mendengar. Sedang handicap (memiliki hambatan) adalah keterbatasan yang terjadi pada individu akibat adanya disability.
            Anak-anak berkebutuhan khusus memiliki sisi kebutuhan yang sama dengan anak-anak pada umumnya, terutam adalah kebutuhan dalam memperoleh pendidikan. Hal yang demikian ini sesungguhnya sudah lama dipikirkan oleh para ahli melalui program pembelajaran mainstreaming, yang mencoba mengintegrasikan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal dalam proses pembelajaran di sekolah dengan focus utama adalah integrasi fisik, sosial. Emosi, dan intelektualnya.
            Inklusi memiliki arti yang berbeda-beda bagi tiap orang. Beberapa orang menerjemahkannya sebagi cara baru untuk berbicara tentang mainstreaming. Bagi yang lainnya mungkin dilihat sebagai cara baru untuk berbicara tentang mainstreaming. Bagi yang lainnya mungkin dilihat sebagai inisiatif pendidikan regular dengan label baru. Sebagian bahkan menggunakan istilah inklusi sebagai banner untuk menyerukan “full inclusionatau “uncompromising inclusion” yang bersrti penghapusan pendidikan khusus dalam konteks lingkungan pendidikan  regular.
            Secara umum di dalam pendidikan inklusif ditandai dengan adanya siswa berkebutuhan khusus yang belajar di sekolah umum, meskipun dengan cara-cara atau pendekatan yang berbeda. Sedang dilihat dari bentuk pelayanannya, keduanya menunjukkan perbedaan yang sangat prinsip. Konsep mainstreaming atau integrasi, dimana siswa berkebutuhan khusus harus menyesuaikna diri dengan system yang sudah ada pada institusi atau lembaga tempat belajarnya. Sebaliknya inklusi, dimana system suatu institusi atau lembaga yang harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan siswa. Selain itu, integrasi lebih berfokus pada kurikulum dan diatur oleh guru, sedangkan inklusi berpusat pada siswa, dan dikembangkannya interaksi yang komunikatif dan dialogis.
            Inklusi lebih menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak berebutuhan khusus. Pendidikan inklusif didefinisikan sebagai pendidikan husus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Pendidikan inklusi mempercayai bahwa semua anak berhak mendapatan pelayanan pendidikan yang baik sesuai dengan usia atau perkembangannya, tanpa memandang derajat, kondisi ekonomi, ataupun kelainannya.
            Anak-anak berkebutuhan khusus memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Mereka juga memiliki hak untuk belajar bersama dengan teman-teman sebayanya. Hanya saja, sampai saat ini  pun mereka para guru dan staff sekolah masih sedikit yang memiliki kesadaran dan kemauan untuk melakukan  hal-hal tersebut. Ini sebuah tantangan dan sekaligus ironi, bahwa telah banyak peraturan atau perundangan dibuat, namun tidak juga dapat diimplementasikan secara konsisten di lapangan.
            Perbedaan pandangan yang terjadi sesungguhnya terkait dengan hakekat keberadaan anak berkebutuhan khusus dan tentu saja berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Sebaliknya, anak-anak berkebutuhan khusus sebagaimana anak-anak pada umumnya sebagai makhluk sosial yang hidup di tengah masyarakat umum, dengan segala hak yang dimilikinya, maka  tidak harus dipisahkan  dalam komunitas masyarakatnya, khususnya dalam memperoleh pendidikan.
            Ada beberapa faktor yang membuat kegiatan operasional inklusi pendidikan sampai saat ini masih rendah, diantaranya minimnya dukungan fasilitas dan sumber daya yang tersedia menjadi kendala dalam implementasi pendidikna inklusi untuk anak-anak usia dini. Persoalan prinsip juga menjadi kendala terselenggarnya pendidikan inklusi di sekolah. Dimana, di satu sisi, sesuai dengan perundangan yang ada pendidikan inklusi hanya berlaku bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang kemampuan intelektualnya tidak berada di bawah rata-rata. Padahal, kenyataan di lapangan prevelensi anak-anak berkebutuhan khusus yang kemampuan intelektual di bawah rata-rata paling banyak di antara jenis-jenis kelainan yang lain. Sedangkan secara konsep fisiologis, sebenarnya inklusi adalah wadah semua anak berkebutuhan khusus, termasuk diantaranya anak-anak yang kemampuan intelektualnya berada di bawah rata-rata.
            Pemerintah harus tetap memberi perhatian dan dukungan bagi semua warganya untuk memperoleh pendidikan yang baik, yang memungkinkan seseorang memperoleh  kecerdasan sebagai individu maupun makhluk sosial dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Penyelenggaraan pendidikan inklusi membutuhkan dukungan semua pihak, selain pemerintah tentu masyarakat yang terutama dalam konteks ini adalah para praktisi pendidikan, dan juga para orangtua yang punya andil besar dalam mendidik anak-anak usia dini melalui nasehat-nasehat, bimbingan, pengarahan ataupun interaksi yang positif dalam lingungan keluarga.
            Pendidikan inklusi harus berorientasi pada inisiatif anak sesuai dengan perkembangan dan pendekatan teacher-directed. Apa yang sesungguhnya diharapakan mengenai sekolah pendidikan inklusi, adalah sekolah umum yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi harus menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran, yang memungkinkan semua siswa dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan.
            Saya setuju dengan beberapa pendapat di atas. Diantaranya persamaan hak dalam memperoleh pendidikan antara anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak lain pada umumnya. Dimana anak-anak berkebutuhan khusus tidak seharusnya diisolasi dari yang lan dengan disekolahkan di Sekolah Luar Biasa. Anak-anak berkebutuhan khusus semestinya tidak dibedakan dengan anak-anak lain, dalam artian mereka seharusnya disekolahkan di sekolah umum.
            Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan jika mengambil sekolah inklusif sebagai jalan keluar atas permasalahan mengenai menyamaratakan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak lain. Diantaranya:
1.      Lembaga pendidikan
Lembaga pendidikan sebagai sebuah wadah yang menaungi guru dan peserta didik, dan juga membuat kebijakan menganai sekolah inklusif, sebaiknya memikirkan dengan masak-masak apa saja yang akan menjadi hambatan diadakannya sekolah inklusif ini, bagaimana dampaknya jika diadakan pencampuran antara anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dengan tidak. Lembaga pendidikan harus merencanakan dan mempertimbangkan banyak hal demi terselenggaranya sekolah inklusif yang sesuai dengan tujuan diadakannya sekolah tersebut.
2.      Guru (Tenaga Pengajar)
Guru memegang peranan penting dalam dunia pendidikan. Untuk mendidik dan mengajar anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, diperlukan suatu keahlian teretentu. Tidak serta-merta guru-guru di sekolah umum bisa mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Apalagi dengan adanya fakta bahwa sekolah inklusif diperuntukkan bagi semua anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, yang berarti akan ada banyak keragaman antara anak berkebutuhan khusus yang satu dengan yang lainnya. dibutuhkan lebih banyak kesabaran dan keuletan untuk menangani anak-anak berkebutuhan khusus, lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk menangani anak-anak lain secara umum. Maka demi terselenggaranya sekolah inklusif yang sesuai dengan tujuan dicetuskannya sekolah inklusif tersebut, maka dibutuhkan banyak kesiapan bagi guru sebelum mengajar, seperti pelatihan-pelatihan skill tertentu. Guru tidak hanya berperan sebagai pengajar atau pendidik, tapi guru juga harus berperan sebagai fasilitator dan motivator anak agar anak-anak tersebut lebih mudah dalam melakukan proses belajar.
3.      Fasilitas pendidikan
Anak-anak secara umum yang tidak memiliki kebutuhan khusus, dengan mudah bisa menjangkau atau mengases fasilitas pendidikan yang ada di sekolah. Tapi tidak dengan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Mereka memerlukan fasilitas yang mendukung dan mempermudahnya dalam melalui proses belajar. Setiap anak yang memiliki kebutuhan khusus memiliki hal-hal yang menghambat dirinya untuk melakukan proses belajar. Mulai dari akses anak-anak tersebut ke kelas sampai proses kegiatan belajar di kelas. Maka dari itu, lembaga pendidikan harus mempertimbangkan hal-hal apa saja yang sekiranya menjadi hambatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Fasilitas yang diberikan bisa berupa pengadaan lift atau bidang miring bagi gedung yang bertingkat, agar mempermudah bagi anak-anak yang kakinya lumpuh.
4.      Peserta didik lain diluar anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus
Pandangan peserta didik lain yang bukan merupakan anak-anak berkebutuhan khusus, memiliki dampak yang sangat besar bagi anak-anak disability. Dengan dicampurnya antara anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak yang tidak memiliki kebutuhan khusus dalam satu lembaga pendidikan, akan menimbulkan kesenjangan antarmerka. Beberapa dari anak-anak yang tidak memiliki kebutuhan khsusu mungkin akan merasa enggan berkumpul atau berteman dengan anak difabel. Begitu juga sebaliknya, anak-anak difabel akan merasa dikucilkan oleh anak-anak lainnya, sehingga itu akan mempengaruhi kondisi psikologis anak difabel tersebut dan akan menghambat proses belajarnya. Maka sebelum diadakannnya sekolah inklusif, sebaiknya dibeikan pengarahan terlebih dahulu kepada masing-masing peserta didik, agar mereka bisa saling menerima kondisi masing-masing anak.

            Beberapa poin di atas, harus diperhatikan demi terselenggaranya sekolah inklusif yang dicita-citakan oleh berbagai pihak. Tidak hanya melihat bagaimana manfaat yang diperoleh bagi penyandang difabel dengan adanya sekolah ini, tapi juga mempertimbangkan resiko yang akan diperoleh difabel dan juga pihak lain jika didirikan sekolah inklusif bagi difabel. 

0 komentar:

Posting Komentar