Gerakan Politik Ataukah Gerakan Moral
Keterlibatan Mahasiswa dalam Sistem Politik
Menurut Wishonsky, partisipasi
masyarakat pada kegiatan politik berbentuk seperti laying-layang terbalik.
Dibagian atas adalah influntials, yaitu kelompok elit minoritas yang
berpengaruh terhadap keputusan politik dan memiliki kemampuan mengerahkan massa
untuk gerakan politik; kelompok dibawahnya disebut participants, yaitu mereka
yang secara regular aktif dalam kegiatan politik; kelompok dibawahnya lagi
adalah citizens, yaitu mereka yang terlibat dalam kegiatan politik hanya pada
saat-saat tertentu saja; dan kelompok yang berada pada lapisan paling bawah
disebut apathetic, yaitu mereka yang tidak tertarik pada berbagia kegiatan
politik.
Menganai bagaimana bentuk partisipasi Mahasiswa dalam
kegiatan politik sendiri belum diketahui, namun apabila bentuk partisipasi
Mahasiswa Indonesia terhadap politik seperti yang digambarkan Woshinsky, maka
jumlh Mahasiswa yang aktif dalam kegiatan politik tidak terlalu banyak.
Sebagian dari mereka berpartisipasi dalam kegiatan politik hanya jika institusi
birokrasi dan institusi politik tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan oleh rakyat.
Meskipun jumlah aktivis Mahasiswa
tidak besar, namun dampak dari gerakan Mahasiswa sangat luar biasa. Gerakan
Mahasiswa terbukti mampu menumbangkan sebuah rejim penguasa, karena itu
kekuatan Mahasiswa sering disebut sebagai kelompok pendobrak san penakhluk
rejim penguasa yang snagat efektif.
Arah Gerakan Mahasiswa
Gerakan Mahasiswa 1966 terkait erat dengan pertarungan
para elit politik era Orde Lama. Pertarungan tersebut menciptakan kondisi
ekonomi menjadi porak-poranda, kemudian terjadilah kudeta dan peristiwa
G30S/PKI. Peristiwa tersebut memberi stimulun Mahasiswa untuk melakukan gerakan
politik terutama dengan tuntutan pembubaran PKI.
Gerakan Mahasiswa terhimpun dalam
KAMI (Kesatuan Aksi mahasiswa Indonesia). Pada bulan Juni 1966 mereka berhasil
merumuskan konsep yang lebih sistematis dan provokatif sesuai dengan nuansa
politik yang disebut Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yang isinya adalah:
bubarkan PKI, retool cabinet Dwikoradan turunkan harga barang. Pemerintah
menganggap bahwa gerakan ini sebagia gerakan yang ditunggangi oelh kepentingan
Amerika, sehingga sejumlah tokoh KAMI ditahan dan pemerintah berusaha keras
agar gerakan politik mereka tidak menyebar luas.
Gerakan politik KAMI kembali
terorganisir setelah memperoleh dukungan militer dari sejumlah partai politik
dan organisasi massa. Perjalanan politik di Indonesia pada masa itu ditandai
oleh aliansi Mahasiswa-Militer. Melalui doktrin dwi-fungsi ABRI, kekuatan
militer memperoleh legotomasi untuk berpartisipasi aktif bahkan mendominasi
kekuasaan politik nasional dan sebagian tokoh Mahasiswa diangkat diangkat
menjadi anggota DPR, bahkan kemudian diangkat menjadi anggota menteri. Namun
tetap saja, ada sebagian yang berpikiran kritis dan menentang berbagai bentuk
penyimpangan.
Aliansi Mahasiswa-Militer tidak
berlangsung lama, karena pada 1970-an benih-benih perbedaan mulai munncul. Di
satu pihak, pemerintah merasa telah sukses memperbaiki kondisi perekonomian
yang porak-poranda, namun di pihak lain Mahasiswa merasa bahwa perbaikan dan
pertumbuhan itu semu belaka.
Berakhirnya aliansi
Mahasiswa-Militer ditandai dengan peristiwa Malari pada tahun 1974, gerakan
anti Soeharto tahun 1978 dan penolakna atas asas tunggal Pancasila awal
1980-an. Sebelum peristiwa Malari terjadi, Mahasiswa telah melakukan
serangkaian kegiatan untuk menciptakan kesadaran politik masyarakat, agar tahu,
mau, dan mampu mengontrol pemerintah. Namun aksi itu dinodai dengan kerusuhan.
Gerakan Mahasiswa tel;ah mampu
menciptakan public distrust yang dapat mempengaruhi keberadaan rejim penguasa,
sehingga pemerintah melakukan upaya-upaya politik yang dapat mematikan gerakan
Mahasiswa.
Puncak akumulasi kekecewaan ,
kegelisahan dan protes Mahasiswa menjadikan aksi-aksi Mahasiswa di beberapa
kota besar. Gerakan tersebut bukan hanya dalam rangka sebagia bentuk
keprihatinan terhadap penderitaan rakyat, tapi juga usaha pembentukan opini
menggantu pemimpin. Presiden Soeharto dinilai menyeleweng dari UUD45.
Pada tanggal 21 Januari 1978,
Komkamtib membekukan Dewan Mahasiwa semua universitas, dengan merujuk pada
pendapat Presiden Soeharto bahwa berbagai bentuk kritik yang disampaikan
Mahasiswa harus dilandasi dengan data yang benar dan jelasa agar tidak
membahayakan kehidupan bangsa dan merusak konstitusi.
Meskipun rejim penguasa mengupayakan
berbagai cara untuk mengebiri gerakan Mahasiswa, namun kegiatan Mahasiswa tetap
berjalan di luar kampus. Di luar kampus, malah mereka bertemu dengan
orang-orang yang memiliki kesadaran serupa. Meskipun kelompok-kelompok tersebut
tidak besar, mereka tetap bisa hidup, karena perdebatan mereka dilandasi dengan
pikiran-pikiran cerdas yang mereka terima di bangku kuliah. Gerakan Mahasiswa mengalami
pergeseran dari elitisme ke populisme, dengan lebih beraliansi Mahasiswa-Rakyat
daripada Mahasiswa-Militer atau Mahasiswa-Birokrat. Pada tahun 1990-an, gerakan
Mahasiswa berhasil menurunkan Soeharto dari kursi kekuasaa, setelah sebelumnya
terjadi krisis ekonomi yang sangat mencemaskan.
Gerakan Moral Atau Politik?
Pada awal rejim Soeharto, pandangan aktivis Mahasiswa
tentang gerakan dan organisasi-organisasi Mahasiswa telah terbelah menjadi dua.
Pandangan pertama lebih bernuansa moral, dalam arti energy politik Mahasiswa
seluruhnya diletakkan sebagai kekuatan penggerak perubahan ketika institusi
birokrasi dan institusi politik tidak mampu melakukan peran sesuai dengan
tuntutan sector public. Pandangan kedua lebih bernuansa politik. Energy
mahasiswa harus ditempatkan sebagai kekuatan riil dalam percaturan politik