Pages


widget

Kamis, 26 Februari 2015

Arah Gerakan Mahasiswa

Gerakan Politik Ataukah Gerakan Moral

Keterlibatan Mahasiswa dalam Sistem Politik
Menurut Wishonsky, partisipasi masyarakat pada kegiatan politik berbentuk seperti laying-layang terbalik. Dibagian atas adalah influntials, yaitu kelompok elit minoritas yang berpengaruh terhadap keputusan politik dan memiliki kemampuan mengerahkan massa untuk gerakan politik; kelompok dibawahnya disebut participants, yaitu mereka yang secara regular aktif dalam kegiatan politik; kelompok dibawahnya lagi adalah citizens, yaitu mereka yang terlibat dalam kegiatan politik hanya pada saat-saat tertentu saja; dan kelompok yang berada pada lapisan paling bawah disebut apathetic, yaitu mereka yang tidak tertarik pada berbagia kegiatan politik.
Menganai bagaimana bentuk partisipasi Mahasiswa dalam kegiatan politik sendiri belum diketahui, namun apabila bentuk partisipasi Mahasiswa Indonesia terhadap politik seperti yang digambarkan Woshinsky, maka jumlh Mahasiswa yang aktif dalam kegiatan politik tidak terlalu banyak. Sebagian dari mereka berpartisipasi dalam kegiatan politik hanya jika institusi birokrasi dan institusi politik tidak dapat berjalan seperti yang  diharapkan oleh rakyat.
Meskipun jumlah aktivis Mahasiswa tidak besar, namun dampak dari gerakan Mahasiswa sangat luar biasa. Gerakan Mahasiswa terbukti mampu menumbangkan sebuah rejim penguasa, karena itu kekuatan Mahasiswa sering disebut sebagai kelompok pendobrak san penakhluk rejim penguasa yang snagat efektif.

Arah Gerakan Mahasiswa
Gerakan Mahasiswa 1966 terkait erat dengan pertarungan para elit politik era Orde Lama. Pertarungan tersebut menciptakan kondisi ekonomi menjadi porak-poranda, kemudian terjadilah kudeta dan peristiwa G30S/PKI. Peristiwa tersebut memberi stimulun Mahasiswa untuk melakukan gerakan politik terutama dengan tuntutan pembubaran PKI.
 Gerakan Mahasiswa terhimpun dalam KAMI (Kesatuan Aksi mahasiswa Indonesia). Pada bulan Juni 1966 mereka berhasil merumuskan konsep yang lebih sistematis dan provokatif sesuai dengan nuansa politik yang disebut Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yang isinya adalah: bubarkan PKI, retool cabinet Dwikoradan turunkan harga barang. Pemerintah menganggap bahwa gerakan ini sebagia gerakan yang ditunggangi oelh kepentingan Amerika, sehingga sejumlah tokoh KAMI ditahan dan pemerintah berusaha keras agar gerakan politik mereka tidak menyebar luas.
Gerakan politik KAMI kembali terorganisir setelah memperoleh dukungan militer dari sejumlah partai politik dan organisasi massa. Perjalanan politik di Indonesia pada masa itu ditandai oleh aliansi Mahasiswa-Militer. Melalui doktrin dwi-fungsi ABRI, kekuatan militer memperoleh legotomasi untuk berpartisipasi aktif bahkan mendominasi kekuasaan politik nasional dan sebagian tokoh Mahasiswa diangkat diangkat menjadi anggota DPR, bahkan kemudian diangkat menjadi anggota menteri. Namun tetap saja, ada sebagian yang berpikiran kritis dan menentang berbagai bentuk penyimpangan.
Aliansi Mahasiswa-Militer tidak berlangsung lama, karena pada 1970-an benih-benih perbedaan mulai munncul. Di satu pihak, pemerintah merasa telah sukses memperbaiki kondisi perekonomian yang porak-poranda, namun di pihak lain Mahasiswa merasa bahwa perbaikan dan pertumbuhan itu semu belaka.
Berakhirnya aliansi Mahasiswa-Militer ditandai dengan peristiwa Malari pada tahun 1974, gerakan anti Soeharto tahun 1978 dan penolakna atas asas tunggal Pancasila awal 1980-an. Sebelum peristiwa Malari terjadi, Mahasiswa telah melakukan serangkaian kegiatan untuk menciptakan kesadaran politik masyarakat, agar tahu, mau, dan mampu mengontrol pemerintah. Namun aksi itu dinodai dengan kerusuhan.
Gerakan Mahasiswa tel;ah mampu menciptakan public distrust yang dapat mempengaruhi keberadaan rejim penguasa, sehingga pemerintah melakukan upaya-upaya politik yang dapat mematikan gerakan Mahasiswa.
Puncak akumulasi kekecewaan , kegelisahan dan protes Mahasiswa menjadikan aksi-aksi Mahasiswa di beberapa kota besar. Gerakan tersebut bukan hanya dalam rangka sebagia bentuk keprihatinan terhadap penderitaan rakyat, tapi juga usaha pembentukan opini menggantu pemimpin. Presiden Soeharto dinilai menyeleweng dari UUD45.
Pada tanggal 21 Januari 1978, Komkamtib membekukan Dewan Mahasiwa semua universitas, dengan merujuk pada pendapat Presiden Soeharto bahwa berbagai bentuk kritik yang disampaikan Mahasiswa harus dilandasi dengan data yang benar dan jelasa agar tidak membahayakan kehidupan bangsa dan merusak konstitusi.
Meskipun rejim penguasa mengupayakan berbagai cara untuk mengebiri gerakan Mahasiswa, namun kegiatan Mahasiswa tetap berjalan di luar kampus. Di luar kampus, malah mereka bertemu dengan orang-orang yang memiliki kesadaran serupa. Meskipun kelompok-kelompok tersebut tidak besar, mereka tetap bisa hidup, karena perdebatan mereka dilandasi dengan pikiran-pikiran cerdas yang mereka terima di bangku kuliah. Gerakan Mahasiswa mengalami pergeseran dari elitisme ke populisme, dengan lebih beraliansi Mahasiswa-Rakyat daripada Mahasiswa-Militer atau Mahasiswa-Birokrat. Pada tahun 1990-an, gerakan Mahasiswa berhasil menurunkan Soeharto dari kursi kekuasaa, setelah sebelumnya terjadi krisis ekonomi yang sangat mencemaskan.

Gerakan Moral Atau Politik?
Pada awal rejim Soeharto, pandangan aktivis Mahasiswa tentang gerakan dan organisasi-organisasi Mahasiswa telah terbelah menjadi dua. Pandangan pertama lebih bernuansa moral, dalam arti energy politik Mahasiswa seluruhnya diletakkan sebagai kekuatan penggerak perubahan ketika institusi birokrasi dan institusi politik tidak mampu melakukan peran sesuai dengan tuntutan sector public. Pandangan kedua lebih bernuansa politik. Energy mahasiswa harus ditempatkan sebagai kekuatan riil dalam percaturan politik
           

            

Homeschooling: Alternatif Pendidikan Humanistik

Pendidikan yang seharusnya mencerdaskan, membebaskan, dan memanusiakan manusia dari belenggu kebodohan dan kemiskinan, pada faktanya menjadi ladang pembodohan, perbudakan dan sarana yang paling absah untuk membunuh sisi kemanusiaan seseorang. Ada beberapa hal yang menjadikan pendidikan semakin melenceng dan tidak sesuai dengan cita-cita idealnya.
Pertama, kecenderungan pendidikan yang semain elitis dan tak terjangkau oleh rakyat miskin. Saya setuju dengan pendapat ini. Pendidikan di Indonesia memang dinilai mahal, jika kita menghitung pendapatan rata-rata penduduk Indonesia. Masih banyak anak dari keluarga miskin yang tidak bis mengenyam pendidikan dikarenakan biaya pendidikan yang sangat mahal. Jika pun ada, mereka hanya mmapu bersekolah di sekolah yang memiliki kualitas dan sarana prasarana yang terbatas. Sekolah dengan kualitas yang layak hanya bisa didapatkan oleh siswa dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke atas. Pemberian bantuan kepada siswa miskin juga dinilai tidak tepat sasaran. Banyak siswa dari keluarga miskin yang tidak memperoleh bantuan tersebut, namun justru siswa dari keluarga mampu yang memperoleh beasiswa tersebut.
Kedua, manajemen pendidikan yang masih birokratis dan hegemonik. System birokrasi yang berlaku di sekolah dinilai tidak mampu untuk mempermudah proses belajar siswa, justru semakin mempersulit siswa. Terutama jika menyangkut maslah keuangan. Beasiswa yang seharusnya memang diperuntukkan bagi siswa yang kurang mampu tidak langsung diberikan kepada mereka yang memang memiliki hak atas beasiswa tersebut, tapi harus melalui beberapa proses dan tahapan yang dinilai mempersulit siswa untuk memperoleh beasiswa. Manajemen pendiidkan juga dinilai terlalu memaksakan dan mengekang siswa, sehingga siswa harus patuh dan terhadap peraturan yang sudah ditetapkan oleh pihak sekolah.
Contoh konkritnya adalah ketika di suatu sekolah terdapat dua program pendidikan, yaitu unggulan dan regular. Siswa dari program unggulan biasanya berasal dari keluarga menengah ke atas, sedangkan program regular diperuntukkan bagi siswa dengan perekonomian menengah ke bawah, karena program unggulan memerluan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan program regular. Siswa dari program unggulan diwajibkan untuk mengambil jurusan IPA, karena siswa dari jurusan IPA dianggap pintar. Padahal tidak semua siswa dari program unggulan itu pintar dan tidak semua siswa yang pintar juga ingin mengambil jurusan IPA. Sistem ini juga berlaku bagi seluruh siswa bahkan di program regular juga. Dimana siswa yang dianggap  pintar harus mengambil jurusan IPA sedangkan yang dianggap kurang pintar harus mengambil jurusan IPS atau Bahasa. Sekolah yang seharusnya menjadai sarana bagi siswa untuk menyalurkan minat dan bakatnya justru membelenggu dan mengekang siswa dengan aturan dan system yang sudah ditetapkan, sehingga siswa tidak bisa menembangkan dan menyalurkan kemampuannya.
System pendidikan dapat diandaikan sebuah “bank” dimana pelajar diberikan ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Proses pembelajaran seperti itu menjadi wahana pembelengguan kreativitas siswa. Selain itu sekolah lebih menitik beratkan pada hasil yang ingin dicapi daripada proses pembelajaran. Sekolah, saat ini hanya menjadi lembaga reproduksi kesenjangan sosial.
Kelas atas lebih diuntungkan oleh system sekolah dan lebih siap bersaing karena budaya lebih dekat dengan habitus mereka, sedangkan mereka yang dari kalangan bawah sudah mengalami banyak hambatan, apalagi pembelajaran untuk pengambnagan intelektual dan kepribadian. Guru yang merupakan sosok yang harus dijadikan panutan, menempati posisi sebagai penerus kebijakna politik dan mempertahankan status quo daripada perannya sebagai teman, sahabat maupun pendamping bagi siswa yang mampu mengoptimalkan potensinya sebagai subjek dalam belajar.
Melihat kondisi realitas pendidikan di sekolah kita pada dewasa ini yang sedimikan parahnya, manimbulkan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan, selain itu pendidikan semakin tidak terjangkau oleh mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Mereka merasa kesulitan mencari sekolah yang murah, dan tidak jarang dari mereka yang akhirnya tidak menyekolahkna ana-anaknya karena beban biaya yang sangat mahal meskipun mereka melihat buah hati mereka sangat senang bersekolah dan belajar.
Denagn system pembelajaran yang sedemikian rupa, ada salah satu model pembelajaran yang bisa dijadikan laternatif untuk belajar adalah dengan model pembelajaran homeschooling. Homeschooling merupakan model pendidikan dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan anaknya sengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikannya. Menurut Sumardiono (2007: 21-23) pendekatan yang digunakan homeschooling dalam proses pembelajaran memiliki rentang yang lebar antara yang sangat tidak terstruktur hingga yang sangat terstruktur, seperti di sekolah. Dengan metode homeschooling peserta didik lebih bebas dalam mengekspresikan karya-karya mereka dan membuat mereka tidak tergantung pada orang lain, karena pada dasarnya peserta didik memiliki kecenderungan dan kebutuhan dasar untuk mengembangkan potensinya semaksimal mungkin, seorang guru atau orang tua sifatnya hanya mendampingi, membimbing serta memfasilitasi anak untuk belajar, proses belajar sepenuhnya disesuaikan dengan kebutuhan anak.
Saya setuju dengan adanya program homeschooling, karena dengan adanya homeschooling siswa lebih bisa menyalurkan minat dan bakatnya dalam dunia pendiidka. Tidak ada lagi kekangan yang mengharuskna siswa mengambil jurusan tertentu. Namun, homeschooling memiliki kelemahan-kelemahan sebagai berikut: membutuhkna komitmen dan tanggung jawab tinggi dari orang tua; memiliki kompleksitas yang lebih tinggi Karena orang tua harus bertanggungjawab atas keseluruhan proses pendidikan anak; keterampilan dan dinamika bersosialisasi dengan teman sabaya relative rendah; ada resiko kurangnya kemampuan bekerja dalam tim, organisasi dan kepemimpinan; proteksi berlebihan dari orang tua dapat memberikan efek samping ketidakmampuan menyelesaikan situasi darn masalah sosial yang kompleks yang tidak terprediksi.
Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi berbagai persoalan pendidikan si Indonesia, berdirilah sebuah sekolah alternative di desa Kalibening kabupaten Salatiga yang diberi nama Qaryah Thayyibah. Sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah ini menggunakan system homeschooling atau sekolah rumah karena bertempat di salah satu rumah penduduk setempat dan berbasis pada komunitas.
Ide pembuatan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah (QT) di Desa Kalibening, Salatiga, berangkat dari keprihatinan Bahruddin, warga desa setempat yang kini menjabat sebagai kepala di sekolah tersebut atas mahalnya biaya pendidikan. Melihat kondisi desanya itu, Bahruddin menginginkan adanya perubahan dan dia pun segera memutuskan untuk mendirikan sekolah tingkat SMP untuk membantu warga miskin mengakses pendidikan murah dan berkualitas. Melalui musyawarah dengan warga setempat, disepakati bersama untuk membuat sekolah alternative Qaryah Thayyibah yang kurikulumnya tetap disasarkan pada kurikulum nasional (kurnas).
Meski mengadopsi kurnas, Bahruddin lebih menggunakan pendekatan pendidikan yang membebaskan, artinya siswa diberi kebebasan untuk berperan aktif dalam kelas. Dengan model pembelajaran seperti ini siswa merasa sangat senang dan di sisi lain orang tua siswa pun merasa sangat antusias menyekolahkan anaknya di sekolah ini. Selain jaraknya yang sangat dekat dengan rumah penduduk, sekolah ini juga menerapkan biaya yang sangat murah itupun berdasarkan kesepakatan dengan warga. Pendidikan yang berbasis komunitas ini memiliki prinsip-prinsip dasar yang diterapkan yaitu: membebaskan, keberpihakan, partisipatif, kurikulum berbasis kebutuhan, kerjasama, system evaluasi berpusat pada subjek didik, serta kepercayaan diri.
Strategi pengembangan pembelajaran di SMP Alternatif Qaryah Thayyibah antara lain: Active Learning, yaitu suatu metode pembelajaran dengan memposisikan siswa sebagai subjek dalam pembelajaran; Siswa sebagai actor yang bebas, dimana siswa diberi kepercayaan untuk merasa bangga dengan yang dimilikinya tanpa harus merasa terpaksa atau dipaksa; Kurikulum sekolah yang menjadi standar nasional dilihat sebagai kompetensi atau tujuan pembelajaran, yang kemudian dikembangkan dalam metode dan strategi pembelajaran aktif yang menjadi pijakannya, di samping itu ada beberapa kurikulum yang dikembangkan secara optimal seperti bahasa; peran guru di sekolah sebagai teman atau sahabat yang memfasilitasi siswa dalam proses pembelajaran; sarana dan prasaran ayng ada di sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah semuanya bersifat sederhana, karena sekolah ini tidak menyandarkan mutunya pada  berbagai fasilitas belajar  akan tetapi lebih kepada proses pembelajaran itu sendiri. Fungsi guru di sekolah ini lebih ditekankan sebagai motivator, dinamisator, dan apresiator atas karya ana apapun hasilnya.
Guru sangat disarankan untuk mengikuti selera anak sebatas selera itu tidak berdampak pada kerusakan diri dan orang lain, ketika selera anak tidak sesuai dengan guru maka seorang guru harus berusaha mengalahkan dirinya. Ketika ada anak yang melanggar kesepakatan maka guru bisa menjatuhkan hukuman pada anak. Hukuman yang tidak bisa ditinggalkan adalah membuat karya. Dalam hal ini apabila pelanggaran itu menyangkut perilaku anak yang menyakiti orang lain, hukumannya ditambah dengan menyelesaikan dan mempertanggungjawabkan pada korban akibat perilaku anak.
 Ada beberapa alasan yang membuat saya setuju dengan adanya homeschooling atau Sekoloah Alternatif Qaryah Thayyibah. Dengan model pembelajaran homeschooling maka peserta didik tidak merasa terkekang oleh system dan birokrasi yang mengikat di lembaga pendidikan. Siswa bebas berekspresi dan menyalurkan minat bakatnya sesuai dengan yang mereka sukai. Lembaga pendidikan juga tidak bisa mengontrol secara penuh apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan peserta didik, karena control akan lebih banyak dilakukan oleh orang tua siswa itu sendiri. Siswa tidak akan merasa dipaksa atau terpaksa untuk belajar atau mengambil jurusan tertentu karena siswa bebas memilih jurusan atau mempelajari mata pelajaran apa yang ia sukai. Biaya yang dikeluarkan juga bisa disesuaikna dengan kondisi perekonomian keluarga, sehingga tidak dikhawatirkan akan memberatkan orang tua siswa. Namun di sisi lain, ada beberapa alasan yang membuat homeschooling memiliki nilai minus, yakni ketika siswa mengambil pendidikan homeschooling maka siswa akan kurang bisa bersosialisasi dengan masyarakat, karena siswa hanya belajar sendiri bersama gurunya. Siswa juga tidak memiliki kemampuan bekerja secara bersama-sama (team work) karean kesehariannya yang terbiasa bekerja sendiri. Siswa jadi kurang memiliki banyak teman, jika dibandingkan dengan anak-anak seumurannya yang belajar di sekolah konvensional. Siswa juga tidak akan merasakan pengalaman bersama teman-teman sebayanya.
Sama halnya dengan homeschooling, saya juga setuju dengan metode yang diterapkan oleh sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah. Sekolah yang sangat memperhitungkan bagaimana keadaan ekonomi masyarakat dan kebutuhan masyarakaat akan pendidikan. Dengan biaya yang sangat rendah, siswa dari keluarga yang tidak mampu bisa mengenyam pendidikan yang benar-benar dibutuhkannya untuk bertahan di masyarakat.

Jika dibandingkan dengan homeschooling secara konvensional, saya lebih mendukng adanya sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah. Karena sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah berorientasi pada kebutuhan komunitas, bukan hanya individu. Jadi seiswa tetap bisa belajar bersama  teman-teman sebayanya. Karena adanya pembauran Siswa juga memiliki kemampuan bekerja dengan tim seperti pada sekolah-sekolah pada umumnya. Disamping  itu, meskipun fasilitas yang diberikan sekolah Alternatif Qaryah Thayyibah tergolong sederhana, namun siswa memperoleh fasilitas pendidikan yang benar-benar dibutuhkannya, berupa computer dan akses internet 24 jam bagi tiap siswa

Pendidikan Inklusif Anak Usia Dini

Pendiidkan inklusi pada decade ini sudah mulai  menunjukkan perkembangan yang berarti dalam upaya memenuhi hak dan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Namun, komitmen untuk melaksanakan di tataran operasional lapangan tidak mudah, banyak kendala yang muncul berkenaan dengan kebijakan, sumber daya, teknis ataupun fasilitas yang tersedia. Keanekaragaman anaka-anak yang berkebutuhan khusus atau anak berkelainan juga menjadi permasalahan tersendiri di lapangan.
            Disability (penyandang cacat) adalah keadaan actual fisik, mental, dan emosi, seperti misalnya orang-orang tunanetra atau tunarungu, yang tidak memiliki kemampuan melihat atau mendengar. Sedang handicap (memiliki hambatan) adalah keterbatasan yang terjadi pada individu akibat adanya disability.
            Anak-anak berkebutuhan khusus memiliki sisi kebutuhan yang sama dengan anak-anak pada umumnya, terutam adalah kebutuhan dalam memperoleh pendidikan. Hal yang demikian ini sesungguhnya sudah lama dipikirkan oleh para ahli melalui program pembelajaran mainstreaming, yang mencoba mengintegrasikan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal dalam proses pembelajaran di sekolah dengan focus utama adalah integrasi fisik, sosial. Emosi, dan intelektualnya.
            Inklusi memiliki arti yang berbeda-beda bagi tiap orang. Beberapa orang menerjemahkannya sebagi cara baru untuk berbicara tentang mainstreaming. Bagi yang lainnya mungkin dilihat sebagai cara baru untuk berbicara tentang mainstreaming. Bagi yang lainnya mungkin dilihat sebagai inisiatif pendidikan regular dengan label baru. Sebagian bahkan menggunakan istilah inklusi sebagai banner untuk menyerukan “full inclusionatau “uncompromising inclusion” yang bersrti penghapusan pendidikan khusus dalam konteks lingkungan pendidikan  regular.
            Secara umum di dalam pendidikan inklusif ditandai dengan adanya siswa berkebutuhan khusus yang belajar di sekolah umum, meskipun dengan cara-cara atau pendekatan yang berbeda. Sedang dilihat dari bentuk pelayanannya, keduanya menunjukkan perbedaan yang sangat prinsip. Konsep mainstreaming atau integrasi, dimana siswa berkebutuhan khusus harus menyesuaikna diri dengan system yang sudah ada pada institusi atau lembaga tempat belajarnya. Sebaliknya inklusi, dimana system suatu institusi atau lembaga yang harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan siswa. Selain itu, integrasi lebih berfokus pada kurikulum dan diatur oleh guru, sedangkan inklusi berpusat pada siswa, dan dikembangkannya interaksi yang komunikatif dan dialogis.
            Inklusi lebih menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak berebutuhan khusus. Pendidikan inklusif didefinisikan sebagai pendidikan husus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Pendidikan inklusi mempercayai bahwa semua anak berhak mendapatan pelayanan pendidikan yang baik sesuai dengan usia atau perkembangannya, tanpa memandang derajat, kondisi ekonomi, ataupun kelainannya.
            Anak-anak berkebutuhan khusus memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Mereka juga memiliki hak untuk belajar bersama dengan teman-teman sebayanya. Hanya saja, sampai saat ini  pun mereka para guru dan staff sekolah masih sedikit yang memiliki kesadaran dan kemauan untuk melakukan  hal-hal tersebut. Ini sebuah tantangan dan sekaligus ironi, bahwa telah banyak peraturan atau perundangan dibuat, namun tidak juga dapat diimplementasikan secara konsisten di lapangan.
            Perbedaan pandangan yang terjadi sesungguhnya terkait dengan hakekat keberadaan anak berkebutuhan khusus dan tentu saja berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Sebaliknya, anak-anak berkebutuhan khusus sebagaimana anak-anak pada umumnya sebagai makhluk sosial yang hidup di tengah masyarakat umum, dengan segala hak yang dimilikinya, maka  tidak harus dipisahkan  dalam komunitas masyarakatnya, khususnya dalam memperoleh pendidikan.
            Ada beberapa faktor yang membuat kegiatan operasional inklusi pendidikan sampai saat ini masih rendah, diantaranya minimnya dukungan fasilitas dan sumber daya yang tersedia menjadi kendala dalam implementasi pendidikna inklusi untuk anak-anak usia dini. Persoalan prinsip juga menjadi kendala terselenggarnya pendidikan inklusi di sekolah. Dimana, di satu sisi, sesuai dengan perundangan yang ada pendidikan inklusi hanya berlaku bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang kemampuan intelektualnya tidak berada di bawah rata-rata. Padahal, kenyataan di lapangan prevelensi anak-anak berkebutuhan khusus yang kemampuan intelektual di bawah rata-rata paling banyak di antara jenis-jenis kelainan yang lain. Sedangkan secara konsep fisiologis, sebenarnya inklusi adalah wadah semua anak berkebutuhan khusus, termasuk diantaranya anak-anak yang kemampuan intelektualnya berada di bawah rata-rata.
            Pemerintah harus tetap memberi perhatian dan dukungan bagi semua warganya untuk memperoleh pendidikan yang baik, yang memungkinkan seseorang memperoleh  kecerdasan sebagai individu maupun makhluk sosial dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Penyelenggaraan pendidikan inklusi membutuhkan dukungan semua pihak, selain pemerintah tentu masyarakat yang terutama dalam konteks ini adalah para praktisi pendidikan, dan juga para orangtua yang punya andil besar dalam mendidik anak-anak usia dini melalui nasehat-nasehat, bimbingan, pengarahan ataupun interaksi yang positif dalam lingungan keluarga.
            Pendidikan inklusi harus berorientasi pada inisiatif anak sesuai dengan perkembangan dan pendekatan teacher-directed. Apa yang sesungguhnya diharapakan mengenai sekolah pendidikan inklusi, adalah sekolah umum yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusi harus menciptakan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran, yang memungkinkan semua siswa dapat belajar dengan nyaman dan menyenangkan.
            Saya setuju dengan beberapa pendapat di atas. Diantaranya persamaan hak dalam memperoleh pendidikan antara anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak lain pada umumnya. Dimana anak-anak berkebutuhan khusus tidak seharusnya diisolasi dari yang lan dengan disekolahkan di Sekolah Luar Biasa. Anak-anak berkebutuhan khusus semestinya tidak dibedakan dengan anak-anak lain, dalam artian mereka seharusnya disekolahkan di sekolah umum.
            Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan jika mengambil sekolah inklusif sebagai jalan keluar atas permasalahan mengenai menyamaratakan pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak lain. Diantaranya:
1.      Lembaga pendidikan
Lembaga pendidikan sebagai sebuah wadah yang menaungi guru dan peserta didik, dan juga membuat kebijakan menganai sekolah inklusif, sebaiknya memikirkan dengan masak-masak apa saja yang akan menjadi hambatan diadakannya sekolah inklusif ini, bagaimana dampaknya jika diadakan pencampuran antara anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus dengan tidak. Lembaga pendidikan harus merencanakan dan mempertimbangkan banyak hal demi terselenggaranya sekolah inklusif yang sesuai dengan tujuan diadakannya sekolah tersebut.
2.      Guru (Tenaga Pengajar)
Guru memegang peranan penting dalam dunia pendidikan. Untuk mendidik dan mengajar anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, diperlukan suatu keahlian teretentu. Tidak serta-merta guru-guru di sekolah umum bisa mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Apalagi dengan adanya fakta bahwa sekolah inklusif diperuntukkan bagi semua anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, yang berarti akan ada banyak keragaman antara anak berkebutuhan khusus yang satu dengan yang lainnya. dibutuhkan lebih banyak kesabaran dan keuletan untuk menangani anak-anak berkebutuhan khusus, lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk menangani anak-anak lain secara umum. Maka demi terselenggaranya sekolah inklusif yang sesuai dengan tujuan dicetuskannya sekolah inklusif tersebut, maka dibutuhkan banyak kesiapan bagi guru sebelum mengajar, seperti pelatihan-pelatihan skill tertentu. Guru tidak hanya berperan sebagai pengajar atau pendidik, tapi guru juga harus berperan sebagai fasilitator dan motivator anak agar anak-anak tersebut lebih mudah dalam melakukan proses belajar.
3.      Fasilitas pendidikan
Anak-anak secara umum yang tidak memiliki kebutuhan khusus, dengan mudah bisa menjangkau atau mengases fasilitas pendidikan yang ada di sekolah. Tapi tidak dengan anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus. Mereka memerlukan fasilitas yang mendukung dan mempermudahnya dalam melalui proses belajar. Setiap anak yang memiliki kebutuhan khusus memiliki hal-hal yang menghambat dirinya untuk melakukan proses belajar. Mulai dari akses anak-anak tersebut ke kelas sampai proses kegiatan belajar di kelas. Maka dari itu, lembaga pendidikan harus mempertimbangkan hal-hal apa saja yang sekiranya menjadi hambatan bagi anak-anak berkebutuhan khusus dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Fasilitas yang diberikan bisa berupa pengadaan lift atau bidang miring bagi gedung yang bertingkat, agar mempermudah bagi anak-anak yang kakinya lumpuh.
4.      Peserta didik lain diluar anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus
Pandangan peserta didik lain yang bukan merupakan anak-anak berkebutuhan khusus, memiliki dampak yang sangat besar bagi anak-anak disability. Dengan dicampurnya antara anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak yang tidak memiliki kebutuhan khusus dalam satu lembaga pendidikan, akan menimbulkan kesenjangan antarmerka. Beberapa dari anak-anak yang tidak memiliki kebutuhan khsusu mungkin akan merasa enggan berkumpul atau berteman dengan anak difabel. Begitu juga sebaliknya, anak-anak difabel akan merasa dikucilkan oleh anak-anak lainnya, sehingga itu akan mempengaruhi kondisi psikologis anak difabel tersebut dan akan menghambat proses belajarnya. Maka sebelum diadakannnya sekolah inklusif, sebaiknya dibeikan pengarahan terlebih dahulu kepada masing-masing peserta didik, agar mereka bisa saling menerima kondisi masing-masing anak.

            Beberapa poin di atas, harus diperhatikan demi terselenggaranya sekolah inklusif yang dicita-citakan oleh berbagai pihak. Tidak hanya melihat bagaimana manfaat yang diperoleh bagi penyandang difabel dengan adanya sekolah ini, tapi juga mempertimbangkan resiko yang akan diperoleh difabel dan juga pihak lain jika didirikan sekolah inklusif bagi difabel. 

Perbedaan Pendidikan dan Pengajaran


Pendidikan adalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan untuk memberdayakan diri, aspek-aspek yang biasanya dipertimbangkan adalah: penyadaran, pencerahan, pemberdayaan, dan perubahan perilaku.
Pengajaran adalah proses belajar atau menuntut ilmu, atau bisa juga disebut proses mentransfer ilmu pengetahuan dari seseorang ke orang lain.
Perbedaan pendidikan dan pengajaran
Pendidikan
Pengajaran
Pendidikan seumur hidup (tidak ada batasan waktu dalam belajar)
Ada batasan waktu
Pendidikan alam (bisa diperoleh dari pengalaman/kehidupan sehari-hari)
Diajarkan oleh orang lain
Menekankan pada pembentukan dan penanaman sikap dan nilai
Menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan atau bidang tertentu
Mengajarkan segala nilai kehidupan
Hanya mentransfer pengetahuan
Pembinaan yang tidak hanya melibatkan fisik dan juga mental, tapi juga hati
Khusus ditujukan pada akal


Migrasi Penduduk

Data Migrasi Penduduk
Provinsi
1980
1985
1990
1995
2000
2005
2010
Migrasi Masuk
 1
Aceh
146307
159495
194709
228641
100166
1)
213553
2
Sumatera Utara
570863
485155
459652
552450
447897
447332
521847
3
Sumatera Barat
134712
138294
217796
260845
245000
300322
344254
4
Riau
356272
315399
689036
884769
1175960
1335873
1911760
5
Kepulauan Riau
3)
3)
3)
3)
432725
542811
801073
6
Jambi
298366
344905
473434
482795
566153
551469
738961
7
Sumatera Selatan
617745
576482
936817
1038898
987157
902044
1017990
8
Kepulauan Bangka Belitung
2)
2)
2)
2)
94334
95129
206705
9
Bengkulu
122785
120106
251621
332080
355048
311326
347651
10
Lampung
1793053
1861253
1730903
1923928
1485218
1596545
1463929
11
DKI Jakarta
2599367
3079693
3170215
3371384
3541972
3337161
4077515
12
Jawa Barat
1003758
1367377
2408626
3615099
3271882
3764889
5225271
13
Banten
4)
4)
4)
4)
1758408
1731081
2766750
14
Jawa Tengah
350724
530385
516315
672978
708308
741588
902711
15
DI Yogyakarta
180367
229125
266500
347245
385117
466941
562384
16
Jawa Timur
465949
567143
575541
808995
781590
660663
925510
17
B a l i
65271
53897
124919
157902
221722
249951
406921
18
Nusa Tenggara Barat
56081
61539
69466
75227
107605
100811
115832
19
Nusa Tenggara Timur
42614
42469
48159
57915
106053
102222
185083
20
Kalimantan Barat
112244
85164
199829
250617
269722
263080
293229
21
Kalimantan Tengah
142257
137971
241192
325028
423014
393828
526737
22
Kalimantan Selatan
145417
182663
274745
321955
360324
400562
487245
23
Kalimantan Timur
296963
384418
604549
741109
856251
990736
1308485
24
Sulawesi Utara
91460
74819
89096
76084
147091
165689
206139
25
Gorontalo
5)
5)
5)
5)
26888
39487
64585
26
Sulawesi Tengah
187024
170323
287447
351609
369634
358601
452792
27
Sulawesi Selatan
118984
132060
225279
304296
266055
320587
364288
28
Sulawesi Barat
6)
6)
6)
6)
104458
166345
172113
29
Sulawesi Tenggara
106027
160035
237602
260141
366817
341057
447484
30
Maluku
130109
119244
186735
160477
75540
73356
123165
31
Maluku Utara
7)
7)
7)
7)
60834
63384
107681
32
Papua
96079
156756
262873
274276
226773
295536
435773
33
Papua Barat
8)
8)
8)
8)
130767
166523
250196

Migrasi Keluar







1
Aceh
116010
119178
125563
181574
244314
1)
264194
2
Sumatera Utara
417659
562885
770093
1025451
1336772
1314117
2298140
3
Sumatera Barat
558804
559636
642908
837493
937799
921180
1151433
4
Riau
86540
93745
127672
169941
180778
208049
314303
5
Kepulauan Riau
3)
3)
3)
3)
57416
9612
84751
6
Jambi
47151
50138
77299
112204
149376
134793
181189
7
Sumatera Selatan
333024
368622
443384
580077
525954
573865
779239
8
Kepulauan Bangka Belitung
2)
2)
2)
2)
120027
99223
114379
9
Bengkulu
39019
39664
46720
66762
73390
82703
110893
10
Lampung
57664
112144
167565
273061
385748
447476
713809
11
DKI Jakarta
400767
593936
1052234
1589285
1836664
2045630
3000081
12
Jawa Barat
1487935
1660517
1751879
1891615
2046279
1984620
2514344
13
Banten
4)
4)
4)
4)
475440
444503
552987
14
Jawa Tengah
3227892
3305362
4524988
5014822
5354459
5538952
6829637
15
DI Yogyakarta
253447
656190
508215
861679
784154
814289
901539
16
Jawa Timur
1597851
1822761
2479487
2879389
3063297
3220158
3864218
17
B a l i
117828
159011
221599
230149
250724
248007
269245
18
Nusa Tenggara Barat
44487
42163
96774
107261
145546
143435
197243
19
Nusa Tenggara Timur
47534
58460
99442
118625
156602
173884
268998
20
Kalimantan Barat
72358
72646
116735
126834
154620
156631
226982
21
Kalimantan Tengah
25086
35590
47700
57448
53291
87712
92935
22
Kalimantan Selatan
169561
195946
201936
245595
255595
297766
312390
23
Kalimantan Timur
34059
48115
63533
88646
90635
97498
148585
24
Sulawesi Utara
121231
150142
153466
218240
151326
166157
217774
25
Gorontalo
5)
5)
5)
5)
113050
100691
117058
26
Sulawesi Tengah
33912
31513
48360
47793
74463
75776
122195
27
Sulawesi Selatan
511725
541446
641961
792342
897616
1027275
1409614
28
Sulawesi Barat
6)
6)
6)
6)
73360
86027
89607
29
Sulawesi Tenggara
89957
68628
107673
125403
95189
122593
177075
30
Maluku
64725
83513
95361
135727
157066
170627
211980
31
Maluku Utara
7)
7)
7)
7)
43712
47039
62813
32
Papua
15559
25495
30786
47356
43586
49668
87545
33
Papua Barat
8)
8)
8)
8)
28763
29106
48955


Sumber : Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990, 2000, 2010 dan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1985, 1995, 2005










Catatan:








Migrasi seumur hidup adalah migrasi dimana tempat tinggal seseorang pada saat pencacahan berbeda dengantempat lahirnya


1)
Aceh tidak termasuk dalam cakupan SUPAS 2005 karena peristiwa gempa bumi dan tsunami




2)
Bangka Belitung masih bergabung dengan Sumatera Selatan






3)
Kepulauan Riau masih bergabung dengan Riau







4)
Banten masih bergabung dengan Jawa Barat







5)
Gorontalo masih bergabung dengan Sulawesi Utara







6)
Sulawesi Barat masih bergabung dengan Sulawesi Selatan






7)
Maluku Utara masih bergabung dengan Maluku







8)
Papua Barat masih bergabung dengan Papua







Analisis Data
Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas administrative  (migrasi internal) atau batas politik/negara (migrasi internasional). Dengan kata lain, migrasi diartikan sebagai perpindahan yang relative permanen dari suatu daerah (negara) ke daerah (negara) lain.
Migrasi Masuk
Melalui data di atas, dapat diketahui bahwa migrasi masuk yang terjadi di Indonesia cenderung meningkat. Jawa Barat menjadi provinsi yang paling bannyak menjadi tujuan migrasi, dimana jumlah penduduk yang bermigrasi ke wilayah Jawa barat naik kurang lebih 740.000 penduduk per 5 tahun. Sementara Papua Barat menjadi provinsi yang paling sedikit jumlah migrasi masuknya, yang hanya naik kurang lebih 13.500 penduduk per 5 tahun.
Seperti yang kita ketahui bahwa pulau jawa menjadi sentral bagi segala kegiatan, baik ekonomi, pendidikan, politik, dll. Sarana dan prasarana di pulau jawa juga jauh lebih baik dan mudah diakses daripada di luar pulau jawa.
Faktor-faktor yang memungkinkan Jawa Barat menjadi provinsi tujuan migrasi antara lain karena letak geografisnya. Pemusatan industrialisasi di Ibu Kota Jakarta dan daerah sekitarnya, termasuk Jawa Barat menjadikan kebanyakan penduduk bermigrasi ke Jawa Barat. mereka lebih memilih untuk tinggal di Jawa Barat karena mereka menilai tidak akan nyaman tinggal di Jakarta dengan segala permasalahan lingkungan dan demografinya, seperti polusi, macet, banjir, padat penduduk, ramai dll. Sebagian besar masyarakat Jawa Barat bekerja sebagai petani. Letak geografisnya yang sebagian besar daerah pertanian yang memiliki iklim  yang jauh lebih sejuk dibandingkan dengan DKI Jakarta atau kota-kota besar lain memungkinkan menjadi salah satu tujuan bagi imigran untuk menetap di Jawa Barat. Di Jawa Barat terdapat beberapa kota yang mungkin menjadi tujuan para imigran, seperti Bandung, Tasikmalaya dan Sukabumi. Factor selanjutnya adalah untuk belajar, karena di Jawa Barat banyak Perguruan Tinggi yang bagus. Factor lainnya adalah untuk membuka usaha, biasanya yang berhubungan dengan bidang pertanian, seperti penjualan alat-alat atau bahan pertanian dan pengolahan hasil pertanian.
Sementara penduduk yang bermigrasi ke provinsi Papua Barat terhitung paling sedikit, bisa dikarenakan  kurangnya sarana dan prasarana yang memadai dan sulitnya akses sarana prasarana tersebut.  Kurang tersedianya lapangan pekerjaan yang diminati masyarakat juga menjadi factor yang membuat Papua Barat menjadi pilihan terakhir bagi masyarakat untuk migrasi ke Papua Barat. Namun, meskipun jumlah imigran yang pindah ke Papua terhitung sedikit, jumlah tersebut mencapai lebih dari separuh dari jumlah penduduk Asli Papua Barat, yaitu penduduk asli Papua barat sebesar 48,7 %, sedangkan warga pendatang sebesar 51,3 %.
Migrasi Keluar
    Melalui data di atas, juga dapat diketahui bahwa penduduk yang paling banyak melakukan migrasi keluar dari daerah asalnya adalah dari Jawa Tengah. Pada tahun 2010 jumlah penduduk yang melakukan migrasi keluar dari Jawa Tengah sebesar 6.829.637, sementara jumlah yang paling sedikit adalah dari provinsi Papua Barat yang pada tahun 2010 hanya mencapai 48.955 penduduk.
Factor yang menyebabkan Jawa Tengah menjadi provinsi dengan jumlah migrasi keluar terbanyak adalah kurang tersedianya lapangan pekerjaan yang diminati penduduk. Provinsi Jawa Tengah sebagian besar wilayahnya adalah daerah pertanian, sehingga sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Kebanyakan masyarakat Jawa Tengah melakukan migrasi untuk mencari pekerjaan di bidang industry atau jasa, karena dirasa lebih menghasilkan daripada bertani.
    Papua Barat menjadi provinsi dengan jumlah migrasi keluar paling sedikit. Factor pertama yang menyebabkannya karena memang jumlah penduduk di Papua Barat sangat sedikit, sehingga lebih banyak penduduk yang datang ke Papua Barat daripada yang keluar dari Papua Barat. Factor lainnya adalah kebiasaan masyarakat Papua yang hidup secara berkelompok sehingga mereka lebih memmilih untuk tetap tinggal di Papua untuk mengolah sumber daya alam di Papua Barat daripada keluar untuk memperoleh pekerjaan lain. Mata pencaharian masyarakat papua barat adalah mencari ikan, berkebun dan bertani.