BAB 1 INDONESIA DAN BANTUAN LUAR NEGERI
Pada
masa pemerintahaan presiden Soekarno, beliau meminta bantuan luar negeri berupa
ketersediaan dana, namun apa yang dilakukan Presiden Soekarno bukan semata-mata
untuk alasan ekonomi, melainkan suatu upaya diplomasi menghadapi Belanda dan
melawan imprealisme. Pada masa pemerintahan presiden Soeharto, politik
konfrontasi Presiden Soekarno secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan.
Menteri Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga
menyebutkan bahwa Indonesia akan menyambut setiap bantuan asing tanpa ikatan
dari negara manapun. Presiden Soeharto lebih mengutamakan pemulihan ekonomi
akibat utang luar negri yang dilakukan presiden Soekarno. Akibat perekonomian
yang tidak juga pulih, akhirnya pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis
moneter yaitu melonjaknya permintaan mata uang dolar AS. Masyarakat mulai
menilai bahwa krisis tersebut terjadi karena tidak lepas dari kebijakan ekonomi
politik yang dikembankan oleh pemerintah orde baru selama ini bersifat otoriter
birokratik , dimana birokrasi dijadikan sebagai alat penguasa untuk
melaksanakan pemerintahan secara sewenang-wenang.
Tanggal
8 Oktober 1997 pemerintah meminta bantuan pada IMF namun hasilnay sama, krisis
moneter tetap berlanjut bahkan berkembang menjadi krisis ekonomi. IMF malah
menyarankan pemerintah Indonesia untuk menutup 16 Bank, guna memulihkan
kepercayaan pasar terhadap sektor perbankan nasional yang merupakan institusi keuangan
yang penting dalam aktivitas perekonomian di Indonesia. Namun kebijakan
tersebut justru mempeburuk keadaan, menyebabkan masyarakat resah dan
berbondong-bondong menarik simpanannya dari Bank-bank yang akan dilikuidasi..
Keputusan IMF tersebut kurang memperhitungkan efek samping faktor-faktor
non-ekonomi (sosial-politik) yang muncul kemudian. Saran dan preskripsi IMF ini
pada dasarnya mengacu pada pemikiran liberal Barat yang pro pasar yang dikenal
sebagai Washington Consensus kemudian dikritik oleh kalangan deterministic,
sehingga mengabaikan aspek-aspek sosial politik.
Akhirnya
pemerintah Indonesia yang diwakili Menteri Keuangan Mar’i Muhammad dan Gubernur
B.I. J. Soedrajad Djiwandono kemudian bersama-sama dengan IMF bersepakat
menandatangani Letter of Intent (Lol) yang
memuat perskripsi IMF mengenai kerangka kebijakan yang harus diambil oleh
pemerintah Indonesia guna mengatasi krisis tersebut. Sehubungan dengan itu
kemudian Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus kemudian mengumumkan sejumlah
paket bantuan IMF sebesar 23 miliar dollar AS yang berasal dari kontribusi IMF
sendiri sebesar 10 miliar dollar AS, Bank Dunia 4,5 miliar dollar AS. Bank
Pembangunan Asia (ADB) 3,5 miliar dollar AS. Sisanya 5 miliar dollar AS berasal
dari donor liberal.
Melihat
kondisi perekonomian nasional yang tidak kunjung membaik kemudian memunculkan
anggapan bahwa hal itu telah menjadi semacam entry point bagi gerakan
demokratisasi ekonomi dan politik Indonesia. Artinya pada satu sisi, semakin
merosotnya kinerja ekonomi pemerintahan presiden Soeharto telah menyebabkan
semakkin memudarnya kepercayaan rakyat. Sementara pada sisi yang lain, hal
tersebut justru semakin memperkuat posisi politik kelompok-kelompok gerakan
prodemokrasi untuk mengkritisi setiap kebijakan ekonomi pemerintah. Namun, pada
akhirnya tampak bahwa akibat kuarang kompaknya Presiden Soeharto dengan tim
ekonominya ditambah kurang sejalannya pandangan Presiden Soeharto dengan IMF,
terutama mengenai ide penerapan instrumen moneter Currency Board System (CBS). Keadaan semakin memburuk lagi ditambah
dengan terjadinya insiden Trisakti ynag menewaskan beberapa Mahasiswa pada 12
Mei 1998, yang kemudian menimbulkan kerusuhan massal 13-15 Mei 1998 di Jakarta.
Di
Indonesia, figur personal seorang pemimpin dalam penyelenggaraan kebijakan luar
negeri dikenal sangat kuat pengaruhnya. Seiring kekuasaan presiden Soeharto
yang semakin menguat, maka presiden Soeharto telah semakin menjadi figur
sentral dalam arsitektur kebijakan luar negeri Indonesia. Setiap kebijakan luar
negeri yang penting harus mendapatkan persetujuannya terlebih dahulu.Kelompok
militer khususnya Departemen Hankam, dinilai sangat mendominasi kebijakan luar
negeri terutama yang menyangkut masalah-masalah keamanan, sedangkan Departemen
Luar Negeri(Deplu) terbatas hanya menangani masala-masalah politik.
Disamping
Departemen Hankam tersebut, institusi-institusi lainnya yang ddominasi oleh
kelompok maliter seperti Bakin, dan Bais( Badan Intelijen Strategis ABRI ) juga
memiliki peranan yang sangat besar dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri
dibandingkan peranan kelompok-kelompok sispil. Di sepanjang Orde Baru, kelompok
militer dalam banyak hal telah mengintervensi hampir semua bidang pemerintahan.
Dalam
hal ini secara khusus patut pula dicatat adanya peranan pentind CSIS dalam
proses pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto ini. CSIS bahkan sempatdisebut-sebut sebgai sebuah lembaga pemerintah untuk mengatur
masalah-masalah politik domestik dan internasional.
Adapun
kelompok dari kalangan sipil yang turut berperan
dalam pembuatan kebijakn luar negeri Indonesia adalah deplu dan Bappenas. Deplu
banyak sekali diserahi tanggung jawab menangani masalah-masalah luar negeri
yang terkait dengan isu politik.
Adapun
Bappenas merupakan institusi sipil lain yang dimiliki negaa dan juga
berpengaruh dalam pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia di bidang ekonomi
khususnya yang terkait dengan bantuan luar negeri ntuk menunjang
program-program pembangunan nasional. Institusi yang didirikan oleh Presiden
Soekarno pada tahun 1963 ini semula memang dimaksudkan umtuk memajukan
pembangunan ekonomi Indonesia. Itu sebabnya kebanyakan direkrut pemerintah
adalah para teknokrat ekonomuntuk membuat rekomendasi-rekomendasi kebijakan
pembangunan sosial ekonomi nasional.
Barulah
kemudian semenjak 193, saat jabatan kepala Bappenas dipegang oleh Ginandjar
Kartasasmita yang saat itu memiliki kedekatan hubungan dengan B.J. habibie yang
merupakan kepercayaan soeharto, maka peranan teknokrat ekonom di Bappenas
perlahan-lahan mulai berkurang namun peranan Habibie menjadi semakin aktif dan
tidak hanya sekedar mampu menempatkan orang-oangnya di Bappenas, bahkan semakin
dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk mereorganisasi Golkar. Sementara itu
peranan instansi Sekretariat Negara juga ckup besar. Hal ini dikarenakan akses
dan fungsi pokok sekneg sehari-hari menyangkut tugas-tugas kenegaraan Presiden,
sehingga institusi ini dinilai sangat berpengaruh dan berkuasa dalam hal
pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia.
Segenap
uraian di atas memperlihatkan demikian pentingnya memahami dinamika politik
dalam pembuatan keputusan politik menerima bantuan IMF oleh pemerintah
Indonesia (1997-1998). Di tengah sikap pro dan kontra berbagai kalangan
terhadap kebijakna pemerintah menerima bnatuan IMF untuk memulihkan krisis
ekonomi ketika itu, menarik untuk diteliti mengapa pemerintah Indonesia membuat
keputusan meminta bantuan kepada IMF daripada mengupayakan sumber-sumber
pendanaan selain IMF ? oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimanakah
realitas Power Politic atau Power Interplay antara Presiden Soeharto
dan kekuatan-kekuatan politik di dalam pembuatan keputusan tersebut ? untuk itu
fokus analisis juga perlu diarahkan kepada faktor ideosyncratic yakni figur personal Soeharto sebagai aktor politik
utama di dalam kegiatan pembuatan keputusan tersebut.
BAB 2 FIGUR SOEHARTO DAN OTORITERISME
ORDE BARU SEBELUM KRISIS 1997-1998
Dalam
bab ini diuraikan bagaimana hubungan politik antarkekuatan politik yang berada
di sekitar presiden Soeharto sebagai pemegangg supremasi kekuasaan pemerintahan
Orde Baru yang bersifat otoriter birokratik. Secara khusus bab ini menguaraikan
mengenai otoriterisme rezim Soeharto dan figur personal presiden Soeharto
sendiri sebagao pemegang kekuasaan sebelum terjadinya krisis moneter dan
ekonomi 1997-1998.
Sejak
awal berkuasanya Soeharto setidaknya ada dua kategori kekuatan politik yng
utama, yaitu militer dan sipil. Dalam hal perumusan kebijakan luar negeri,
terdapat beberapa institusi formal yang dinilai banyak berperan diantaranya
yang terpenting adalah Departemen Luar Ngeri, badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, Sekretaris Negara, Departemen Pertahanan dan Keamana, Komisi 1 DPR
RI, Badan Koordinasi Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis, Lembaga
Ketahanan Nasional, Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban, dan sebuah lembaga
Center for Strategic and International Studies. Meskipun demikian namun setiap
pembuatan kebijakan, keputusan akhirnya tetap berada di tangan Presiden
Soeharto.
Pada
hakikatnya kelompok-kelompok kekuatan politik di sekitar Presiden Soeharto
tersebut, baik kategori sipil maupun militer memiliki kesamaan, karena mereka
sesungguhnya adalah orang-orang yang sama-sama memiliki dedikasi, loyalitas dan
kedekatan hubungan yang sangat erat dengan Soeharto sebagai power figure.
Sejak
awal berkuasanya, pemerinytahan orde baru secara terencana telah membangun
sistem ekonomi politik nasional yang bersifat patrimonial dan terpusat pada
Presiden Soeharto dan kelompok-kelompok elite politik sekitarnya. Soeharto
menerapkan praktik birokratik politik melalui sentralisasi kekuasaan yang
banyak dipegang oleh kelompok militer. Adanya penerapan dwi fungsi ABRI praktis
telah membuka peluang besar bagi kelompok militer untuk menguasai berbagai
aktifitas ekonomi dan sosial politik yang penting di bidang militer.
Fundamental ekonomi di Indonesia pun pada saat itu sudah sangat rapuh dan
mengakibatkan krisis menjadi berkepanjangan.
Struktur
politik orde baru dengan model bereaucratic
authoritarian tersebut tentunya sangat bertentangan dengan paham demokrasi,
karena rezim kekuasaan dan proses politik hany memusat pada satu orang atau
sekelompok orang sebagai hasil dari kolaborasi antara kelompok militer
patrimonial dan teknokrat ekonom.
Adapun
corak dasar dari rezim otoriter birokratik orde baru adalah :
1. Rezim
menindas hak-hak dan kebebasan politik dengan melakukan depolitisasi,
memprraktikan korporatisme negara, dan kooptasi politik, bahkan seringkali
menggunakan cara-cara kekerasan;
2. Pemerintah
merupakan wujud persekutuan antara militer (sebagai penjaga atau pelaksana
stanilitas keamanan) dan teknokrat ekonom (sebagai perumus kebijakn ekonomi)
serta birokrat sipil;
3. Ideologi
kekuasaan adalah pembangunanisme (Trilogi Pembangunan) dimana stabilitas
politik ditempatkan sebagai alat pertumbuhan ekonomi sehingga penguasa dapat
berpihak pada klien-klien ekonominya;
4. Pembangunan
dinikmati oleh jaringan-jaringan kekuasaan dan aliansi politiknya;
5. Kekuasaan
dilegitimasi melalui materi (konglomerasi dan penampilan ekonomi),
konstitusional dan inkonstitusional, tertib politik meskipun dengan cara
kekerasaan.
Dalam rezim otoriter
birokratik ini, kebebasan berpendapat ditekan, diminimalisasi, bahkan ditiadakan
penting dengan cara-cara represif.
Birokrasi yang seharusnya menjadi alat pembangunan yang penting untuk tujuan teknis, ternyata telah disalahgunakan
untuk tujuan politik, yakni menjaga stabilitas
kekuasaan rezim pemerintah secara internal maupun eksternal.
Sejak awal berkuasanya,
Soeharto menerapkan suatu mode kepemimpinan yang khas dan terutama dilatari
oleh cara berpikirnya yang sangat jawa. Menurut Soemarsaid Moertono (1985),
dalam tradisi/kultur Jawa diyakini bahwa seorang penguasa memiliki daya ilahi
yang kekuatannya luar biasa (sakti). Daya kekuatan tersebut merupakan unsur
utama bagi seorang penguasa yang disegani masyarakatyang mengharapkan satu
kepemimpinan yang kharismatik.
Selain penilaian dari
kultur kekuasaan Jawa, penilaian mengenai figur Soeharto ini juga diberikan
oleh Roeder seperti yang dikutip oleh Suryadinata. Hingga tahun 1965-an, menurut penilaian Roeder,
sosok Presiden Soeharto masih belum cukup berpengalaman untuk menangani
masalah-masalah luar negeri dan kurang menunjukkan ketertarikannya yang besar
terhadap masalah-masalah luar negeri dan internasional.
Liddle pun
turut juga memberikan penilaiannya sendiri tarhadap Soeharto, Soeharto adalah
sosok pemikir tunggal yang berhasil membangun, memelihara, menjaga tetap stabil,
dan menguasai seluruh masyarakat selama lebih dari tigapuluh tahun. Para
pengamat masih kurang sepakat apakah Soeharto benar-benar seorang ahli strategi
sekaligus pembangun dan perencana jangka panjang, ataukah ia hanya seorang ahli
taktik yang member respons ad hoc dan
inkremental terhadap setiap tantangan dan peluang yang muncul dan sampai
seberapa jauh dia menerima atau menolak nasihat. Namun, satu hal yang tak dapat
disangsikan bahwa setiap keputusan penting selama rezimnya banyak dibuat oleh
Soeharto sendiri.
Disamping
kuatnya figur personal Soeharto di atas, terdapat kelompok pendukung yang
menopang langgengnya pemerintahan otoriter birokratik Soeharto terutama dari
kelompok militer (ABRI) dan kelompok teknokrat ekonom Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan.
Meskipun
dikelilingi oleh demikian banyak teknokrat ekonom ulung dan perwira tinggi
militer, namun Soeharto dalam gaya kepemimpinannya sangat dikenal sebagai sosok
yang tidak pernah mau didikte dan tidak pernah mengadalkan hanya kepada
seseorang atau sekelompok kekuatan politik tertentu yang berada disekitarnya.
Persoalannya
dibelakang hari terlihat bahwa presiden dalam pengambilan keputusan akhirnya
cenderung lebih mengutamakan kepentingan politik pribadi, keluarga, dan
kroni-kroninya daripada kepentingan bangsa dan negara yang semestinya
didahulukan. Hal ini tampaknya berdampak pula pada karakter pribai Presiden
Soeharto yang sangat tidak tahan menghadapi kritik. Selama berkuasanya Presiden
Soeharto kebebasan politik rakyat sangat dibatasi. Soeharto dinilai telah
banyak melakukan tekanan terhadap kaum intelektual dengan cara memberlakukan
sensor tehadap media asing, membatasi perjalanan ke luar negeri, dan
membelenggu kebebasan berpendapat. Hal ini menimbulkan kritiikan tajam dari
negara-negara barat seperti AS, karena menurut mereka kepemimpinan Soeharto sarat dengan KKN.
Pada awal
masa pemerintahannya, Soeharto cenderung untuk berkonsentrasi pada upaya untuk
mengatasi krisis ekonomi yang merupakan warisan daro pemerintahan Soekarno yang
ketika itu menyambut baik semua bantuan yang diberikan luar negeri. Karena
kesuksesan kerjasama tersebut, akhirnya Jepang meneruakan prakars auntuk
menyelenggarakan suatu konsorsium pemberi bantuan yang dikhususkan untuk
Indonesia. Kemudian terbentuklah Inter Govermental Group on Indonesia (IGGI)
pada 1967. Namun forum ini akhirnya dibubarkan karena Presiden Soeharto merasa
tersinggung atas pelakuan Belanda yang dinilai telah menggunakan bantuan luar
negerinya sebagai alat intimidasi.
Sri-Edi
Swasono menguraikan pendapatnya bahwa pembubaan IGGI ini oleh Presiden Soeharto
memang adalah demi membela harga diri bansa, rasa berdaulat dan menolak
keterdiktean pula. Kasus pembubaran IGGI di atas memperlihatkan bagaimana figur
seorang Soeharto yang demikian berani dan tegas menghadapi pihak asing yang notabene adalah negara-negara pemberi
bantuan dana pinjaman yang selama ini telah menjadi mitranya.
Dilihat
dari perspektif hubungan kelompok militer-sipil semasa pemerintahan Orde Baru,
Presiden Soeharto sejak awal berkuasanya telah menyadari mengenai pentingnya
melibatkan kelompok militer maupun sipil dalam suatu proses perumusan kebijakan
nasional. Di negara yang cenderung menerapkan praktik otoriter seperti
Indonesia ini, besarnya peranan militer tak dapat dipungkiri lagi sebagai
kekuatan utam yang diandalkan untuk untuk menciptakan stabilitas politik dan
keamanan.
Meskipun
dominasi kelompok militer sedemikian besar dan luas namun demikian kekuatan
kelompok sipil dalam birokrasi pemerintahan tetap harus diperhitungkan pengaruhnya
dalam ranah politik di Indonesia. Akan tetapi, sayangnya peran birokrasi
tersebut sudah terkooptasi oleh kepentingan Soehaarto sebagai penguasa Orde
Baru. Penggunaan basis kekuatan militer dan teknokrat ekonomi sipil dalam pemerintahannya tersebut
dilakukan oleh Presiden Soeharto sepenuhnya adalah demi melaksanakan program
rehabilitasi ekonomi dan politik dalam negeri. Sebagaimana diungkapkan oleh
Liddle, birokrasi di Indonesia pada dasarnya mencerminkan suatu kemajemukan
kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, tidak telalu mengherankan kalau
hal ini memunculkan iklim persaingan atau kompetisi serta pertarungan personal
untuk memperoleh pengaruh dan kekuasaan di antara departemen-departemen
dan badan-badan negara.
Birokrasi
dan kelompok militer sangat solid bersama-sama Golkar menjadi tulang punggung
pemerintahan Orde baru. Sepanjang periode Orde Baru ini, msyarakat sangat takut
untuk mebicarakan apalagi mengkritisi peranan birokrasi dan militer tersebut
dalam pemerintahan.
Di bidang
hubungan luar negeri, pemerintah Soeharto dalam banyak hal juga dikenal sangat
pragmatis, bahkan fleksibel dalam menerapkan prinsip politik luar negeri
Indonesia yang bebas dan aktif.
Dalam
menjalankan roda pemerintahannya, Soeharto tidak pernah memusatkan kekuasaan
politiknya hanya mengandalkan pada satu kelompo politik. Kelompok-kelompok
kekuatan politik yang terdapat di sekitarnya sedemikian rupa justru dibuat
lebih banyak bergantung kepada Soeharto daripada sebaliknya. Adapun
pengelompokan kekuatan politik di sekitar Soeharto yang dibuat oleh Salim Said sebagai “liberals”,
“nasionalis”, dan “patrimonial” tampaknya masih dapat diperdebatkan.
Kelompok
Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan disebut
sebagai “liberalis” dikarenakan mereka adalah teknokrat ekonom dari
kalangan sipil yang berpenddikan barat. Sedangkan kelompok yang disebut sebagai
kelompok patrimonial adalah Sudharmono, M, dan Ginandjar Kartasasmita.
Keberadaan kelompok patrimonial ini lebih dikenal karena kedekatannya yang erat
secara cultural dengan presiden Soeharto.
Kemudian muncul kelompok nasionalis yang terdiri dari Habibie dan
kawan-kawan . munculnya kelompok ini
sebagai konsekuensi dari keberhasilan Soeharto melemahkan kelompok teknokrat
ekonom.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya eksistensi ketiga kelompok ini
tidak perlu diragukan lagi kredibilitas dan loyalitasnya kepada Soeharto.
Kondisi ketiganya yang selalu berada dalam kondisi tarik-menarik itu
sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari system patron-clirnt yang memang secara sengaja diciptakan Presiden
Soeharto sendiri untuk memelihara dan mempertahankan kekuasaannya.
BAB III MEMAKNAI
RELASI KEKUSAAN SOEHARTO AN KEKUATAN POLITIK DI SEKITARNYA DALAM KEBIJAKAN
PEMULIHAN KRISIS 1997-1998
Sepanjang
berkuasanya Soeharto hingga sebelum terjadinya krisis 1997-1998 di Indonesia,
tidak dapt dipungkiri Soeharto merupakan sosok penguasa yang sangat kuat
pengaruhnya. Namun menjelang akhir masa-masa kekuasaannya tampak bahwa monopolo
ekonomi ktoni-kroni Soeharto telah sedemikian makin tidak terkontrol oleh
Soeharto, sementara pada tahun-tahun tersebut usia Soeharto memasuku usia
senja. Oleh karena itu periode 1992-1997 dapat dinilai sebagai priode terakhir
masa berkuasanya Soeharto. Setelah awal Juni 1992, para jendral dari kalangan
angkatan bersenjata mengusulkn Try Sutrisno sebagai kandidat Wakil Presiden.
Hal ini jelas menandai resistensi kalangan militer untuk pertama kalinya
terhadap politik Soeharto. Walaupun ketika itu Soeharto tidak setuju, namun
usulan tersebut tidak dapat dihentikan dan nyatanya terbukti bahwa Try Sutrisno
memperoleh dukungan mayoritas fraksi MPR untuk menjadi wakil presiden. Hal
inilah yang kemudian menyebabkan koneksi antara Soeharto-Habibie melaui Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) menjadi signifikan. Sejak itu Islam dan
politik Soeharto memasuki suatu fase baru dalam politik Indonesia. Soeharto
telah mengalihkan visi politik militer ke sipil Muslim di tangan Habibie.
Ketika
krisis moneter dan ekonomi melanda Indonesia, menurut Liddle hal ini tidak
terlepas dari usia Soehato yang sudah mencapai usia 77 tahun. Soeharto bahkan
tidak lagi berkeinginan atau bahkan tidak mampu lagi membedakan antara
kepentingan keluarganya dan kroni-kroninya dengan kepentingan bangsa dan
negara. Manakala ketika kedua sisi tersebut bertemu, maka Soeharto maka
jelas-jelas Soeharto telah memilih untuk membela kepentingan keluarganya
seperti yang terjadi pada permulaan krisis moneter 1997. Itu juga penyebabnya
mengapa Presiden Soeharto menjadi terlalu berhai-hati dan tidak tegas dalam
mengambil kebijakan-kebijakan.. namun ketidaktegasannya ini justru telah
menyebabkan krisis semakin berkepanjangan yang akhirnya mengarah pada
kejatuhannya.
Dalam
kasus pemerintahan Orde Baru, sedikitnya ada dua penyebab menguatnya posisi
Presiden Soeharto, yaitu (1) keberhasilan presiden membangun format politik
yang berpusat kepada dirinya; dan (2) keberhasilan Presiden dalam menempatkan
orang-orang kepecayaannya dalam pusat-pusat kekusaan yang strategis dan
penting. Presiden juga berhasil membangun saluran kepada basis massa yang kokoh
terutama melalui kedudukannya sebagai ketua dewan Pembina Golkar dan
menempatkan orang-orang dekatnya pada posisi puncak Golkar di tingkat pusat dan
daerah. Selain itu ada dua kelompok penting yang menjadi kekuatan semasa
pemerintahan Soeharto, yaitu (1) kelompok teknokrat ekonom yang dikenal sebagai
kelompok Widjojo dan (2)nkelompok teknokrat teknolog yang dikenal sebagai
kelompok teknokrat Habibie. Sejak awal rekan jejak kedua toko ini mmang
berbeda. Widjojo lebih banyak berkiprah di bidang perencanaan pembangunan
ekonomi dan keuangan yang menandai kemunculan kelompok teknokrat ekonom,
sedagkan Habibie di bidang pengembangan riset dan teknologi yang kemudian
menandai munculnya kelompok teknokrat teknolog.
Selama
berkuasa, Soeharto telah berhasil membangun suatu oligarki kekuasaan dengan
cara mmbatasi proses-proses politik ke dalam hanya sekelompok kecil elite
dengan suatu keyakinan bahwa politik yang sedikit adalah suatu prakondisi yang diperlukan bagi keberlangsungan
pembangunan ekonomi. Selain itu Soeharto juga banyak mengandalkan
penasehat-penasehat kebijakan yang berbeda-beda tergantung pada situasi atau
isu yang dihadapinya.
Pada
masa 1990-an terlihat bahwa perbedaan peran dan pengaruh antara kelompok
teknokrat ekonom dan kelompok teknokra teknolog semakin mencuat ke permukaan.
Ini disebabkan karena adanya pergeseran kekuasaan di tingkat elite yang
dilakukan oleh Presiden Soeharto. Adanya
kritik tajam dari berbagai pihak terhadap kinerja kelompok teknokrat ekonom
mendorong Presiden Soehato untuk lebih memilih kelompok teknokrat teknolog
Habibie sebagai llangkah untuk mengamankan kekuasaannya.
Figure
personal Soeharto yang tidak suka dikritik juga telah mendasari terjadinya
perubahan pentinng di tingkat elite ini. Munculnya berbagai kritik tajam dan
gencar dari pihak negara-negara barat maupun IMF dan Bank Dunia terhadap
kinerja pemerintahannya yang dinilai sarat dengan KKN semakin dirasakan oleh
Soeharto telah menyinggung kepentingan pribadi dan kroni-kroninya sehingga
mendesak untuk segera diatasi. Untuk itu menurut penilaian Soeharto, eksistensi
dan peran kelompok Widjojo yang selama ini dikenal sebagai counterpart pihak barat, terlebih dahulu harus dilemahkan agar
dengan demikian pihak barat tidak lagi mengakses kritikannya melalui keberadaan
kelompok Widjojo ini. Kebijakan yang diambil Soeharto ketika itu adalah reshuffle cabinet pada tahun 1993 untuk
menggeser posisi kelompok teknokrat ekonom.
Dalam
masa pemerintahan Soeharto, faktor gelar dan posisi tampaknya belum cukup
memadai untuk menentukan kekuatan politik seseorang karena faktor edekatan
kepada Soeharto juga patut diperhitungkan. Dengan demikian salah satu pesan penting dari peristiwa reshuffle cabinet Maret 1993 tersebut
adalah bahwa kepercayaan Soeharto kepada para teknokrat ekonom sudah mulai
menyusut dan bergeser kepada kelompok teknokrat teknolog pimpinan Habibie.
Ketika
krisis merebak, pemerintah memiliki dua lembaga utama yang mangurusi kebijakna
moneter Indonesia, yaitu dewan moneter dan Direksi Bank Indonesia (BI). Dewan
oneter ini berwenang menetapkan kebijakna moneter dan berhak mengusulkan
pengangkatan calon Gubernur dan Direktur BI kepada Presiden.
Sementara
itu, pihak BI selaku otoritas pengendali moneter waktu itu mempunyai penilaian
bahwa krisis financial Asia merupakan kejadian terburuk sejak Perang Dunia II,
sedangkan krisis di Indonesia adalah kasus terburuk dalam krisis Asia. Untuk
meredam tekanan terhadap nilai tukar rupiah, pihak BI memberikan respon dengan
memperlebar batas atas dan batas bawah krus rupiah. Yakni dari 8 persen hingga
12 persen.
Dalam
menghadapi masalah depresiasi rupiah, rapat-rapat Dewn Moneter banyak
mendiskusikan tentang opsi antara mengembangkan nilai rupiah secara bebas
ataukah memperlebar batas atas dan bawah kurs rupiah. Dewan Moneter cenderung
menilai bahwa kebijakna untuk memperlebar band
nilairupiah adalah salah satu alternative. Namun pada akhirnya, Presiden
memutuskan untuk mengambil opsi ke dua, yakni mengembangkan nilai rupiah secara
bebas. Namun, keputusan ini erimbas buruk kepada para pelaku dunia usaha.
Kemudian keesokan harinya pihak BI mengumumkan diterapkannya kebijakn nilai
tukar rupiah mengambang bebas. Namun upaya pemerintah ini kembali tidak membawa
hasil sepeti yang diharapkan karena nilai tukar rupiah semakin merosot.
Dalam
upaya menghadapi gejolak moneter yang
semakin buruk, pemerintah kemudian meminta bantuan kepada IMF. Ada dua
kemungkinan fasilitas pinjaman yang dapat diajukan kepada IMF waktu itu, yaitu precautionary arrangement ataukah stand-by arrangement. BI mengusulkan
agar pemerintah memilih untuk mengajukan opsi yang ke dua, yaitu SBA.
Dewan
moneter menyadari bahwa penerapan yang diambil tidak bisa membuahkan hasil yang
diharapkan. Bahkan penurunan keperccayaan pasar dan public tidak lagi sebatas
pada rupiah, tetapi sudah mengarah pada lemahnya manajemen perekonomian
pemerintah. Untuk itu pemerintah kemudian menunjuk Widjojo untuk memimpin tm
ekonomi guna melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan untuk melakukan
pembicaraan lanjutan dengan pihak IMF.
Reshuffle cabinet pada Maret 1993
merupakn sinyal awal dari mulai bergesernya elite kekuasaan tingkat tinggi
rezim Orde Baru. Sebagaimana telah dijelaskan tadi akhirnya pemerintah meminta
bantuan IMF untuk mengatasi krisis tersebut karena situasi perekonomian sudah
semakin memberatkan khususnya dai sisi neraca pembayaran. Namun, kemudian
muncul pertanyaan apakah kabijakna mengundang IMF merupakan suatu tindakan yang
salah ? bahkan ada pula kritisme yang menuduh bahwa tim yang membua keputusan
mengundang IMF tersebut telah bekonspirasi unuk menjatuhkan Soeharto.
IMF
merupakan pilihan pemerintah yang paling rasional pada saat itu sebagai sumber
pendanaan untuk mengatasi krisis. Namun, selain itu terdapat pula Currency Board System (CBS) yang digagas
Stave Hanke sebagai alternative selain IMF.. CBS yang disebut-sebu sebagai
gagasan Hanke ini lebih banyak menimbulkan kontra daripada pro.
Perihal
kedatangan Hanke ini kurang jelas siapa yang mengundang dan memfasilitasinya,
bahkan sampai bisa memberikan nasehat ekonomi secara langsung kepada Presiden
Soeharto. Namun, diyakini bahwa kunjungan tersebut diduga kuat ada back-up dari
putera dan puteri Presiden, yaitu Bambang Trihatmodjo dan Siti Herdiyanti
Presiden
Soeharto sebenarnya sangat ingin menerapkan CBS, akan tetapi beliau tidak
mendapat dukungan dari elite ekonomnya. Tampaknya ada juga kekhawatiran di
kalangan elite ekonom bahwa apabila CBS diterapkan, yakni tidak berperannya
lagi BI sehingga tidak ada lagi institusi yang melakukan pengawasan.
Terdapat
suatu dimensi Internasional dalam krisis ekonomi dan politik yang terjadi pada
tahun 1998. Dalam hal ini tudingan paling banyak diarahkan kepada IMF dan AS
sebagai pihak yang memikul kesalahan besar atas berkepanjangannya krisis di
Indonesia. IMF juga dituding memiliki target untuk menjatuhkan Presiden
Soeharto. Memang agak sulit membantah anggapan bahwa IMF dalam melaksanakan
program-programnya acapkali bernuansa politis.
Berbagai
opini dan sikap kritis dan bahkan sinisme masyarakat keudian muncl untuk
menanggapi kebijakan pemerintah menerima paket bantuant dari IMF. Reaksi public
umunya bersifat negatif. Mereka menilai bahwa pemerintah cenderung bersikap
tidak konsisten dalam menerapkan kebijakannya. Peran IMF sendiri tidak luput
dari kritik tajam dari beberapa kalangan. Hal ini terutama disebabkan karena
bantuan yang diberikan IMF tidak mampu membebaskan Indonesia dari krisis yang
dialaminya.
Meski
peran lembaga legislative sangat lemah pada masa Orde Baru, namun kalangan DPR
RI masih terdengar menyuarakan aspirasi sebagai responterhadap pemerintah yang
memutuskan meminta bantuan kepada IMF tersebut. Kalangan pengusaha umumnya
menyambut baik adanya dana bantuan IMF untuk memulihkan perekonomian di
Indonesia. Reaksi pro dan kontra juga muncul dari pengamat ekonomi dan politik
dalam menanggapi keputusan pemerintah meminta bantuan IMF.
Semakin
merosotnya nilai rupiah yang berimbas pada memburuknya kinerja perekonomian
nasional pada gilirannya membuat kepercayaan public kepada kepemimpinan
Presiden Soeharto pun semakin memudar. Terus memburuknya kinerja ekonomi
nasional semenjak merebaknya krisis moneer 1997 tersebut jelas merpakan salah
satu faktor penting yang mendorong
semakkin menguatnya desakn mundur Presiden Soeharto.karena desakan yuntuk
mundur yang datang terus menerus dari kalangan Mahasiswa dan tidak adanya lagi
dukungan, akhirnya pada 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB Presiden SOeharto
menyatakan berhenti dari jabatan sebagai Presiden dan digantikan oleh Wakil
Presiden B.J. Habibie.
BAB IV EPILOG: KEPEMIMPINAN SOEHARTO
UNTUK INDONESIA
Gaya
kepemimpinan Soeharto dilatari oleh cara berpikirnya yang sangat jawa. Hal ini
menurut Schwarz (1994) dicirikan oleh kepemimpinannya yang lebih mengedepankan
harmoni dan konsensus, serta berprinsip menang tanpa harus menakhlukan. Demi
tujuan pembangunan nasional, pemerintah Orde baru banyak melakukan
birokratisasi terutama pembesaran pada jumlah anggota birokrasi. Akibatnya,
tidak terjadi proses dialog antara rakyat dan para pengambil kebijakan secara
optimal.
Figur
kepemimpinan Soeharto harus diakui pada awalnya cukup kuat dan efektif.
Soeharto dikenal sebagai sosok yang tidak mau didekte dan tidak pernah
mengandalkan hanya kepada pendapat seseorang atau pun sekelompok kekuatan
politik tertentu yang berada di sekitarnya. Dalam proses pemngambilan
keputusan, Soeharto dalam banyak hal dinilai mampu menghadapi pilihan yang
sulit dalam posisi atau situasi yang mendesak. Dampaknya adalah sosok Soeharto
lebih banyak menerapkan peraturan yang menerapkan apa yang dikenal sebagai
peraturan yang dipersonalkan. Yang menjadi kelebihan dari Soeharto dan yang membedakannya
dari pemimpin-pemimpin lain masa kini adalah terletak pada kemampuannya
melakukan harmonisasi dan negosiasi terutama dengan kelompok-kelompok yang
berada dalam lingkaran pemerintahannya untuk tetep dalam suasana kerja yang
kondusif.
Adapun
dalam konteks hubungan dengan badan-badan internasional seperti IMF dan Bank
Dunia, Soeharto juga mampu memposisikan Indonesia sebagai negara yang tidak
ingin didekte, namun pada saat yang bersamaan Indonesia tetap disegani dan
dipandang sebagai mitra strategis mereka.
Namun,
seiring berjalannya waktu dan ambisi untuk terus mempertahankan dan memperkuat
kekuasaan Soeharto dan kroni-kroninya, hal ini telah berimbas pada munculnya
persaingan politis diantara kroni-kroninya untuk memperebutkan pengaruh dari
Soeharto yang notabene usianya sudah semakin menua. Akibatnya, persaingan
tersebut telah semakin menjauhkan para pengambil kebijakan dari esensi
menyelesaikan permasalahan bangsa. Persaingan politisi antara elompok-kelompok
kroni Soeharto tesebut memnberikan dampak negatif terutama saat Indonesia
terimbas krisis moneter 1997-1998.
Soeharto
semula memiliki kemampuan mengelola kekuasaan dengan baik sekali, dan dalam
pengelolaan tersebut dia tidak mengandalkan seorang maupun kelompok dalam
memberikan masukan. Soeharto justru memanfaatkan setiap persaingan politisi di
antara kelompok-kelompok tersebut untuk melanggengkan kepentingan kekuasaannya
sendiri maupun keluarganya.
Memasuki
penghujung abad ke-20 yng ditandai oleh krisis moneter dan ekonomi yang
berkepanjangan, situasi politik dan ekonomi internasional berubah sedemikian
pesat. Soeharto semakin tidak mampu mengendalikan kelompok-kelompok militer dan
sipil (teknokrat ekonom dan teknokrat teknolog) di sekitarnya yang terus
bersaing secara ketat untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Puncaknya,
Soeharto memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden.
Pengunduran diri Soeharto ini memperlihatkan kelemahan kepemimpinan dengan
corak sentralistik dan patron, yaitu karena kurang mempersiapkan proses regenerasi
kepemimpinan nasional.
Belajar
dari kegagalan kepemimpina Soeharto, kedepan Indonesia harus mengembangkan
corak kepemimpinan yang demokratis dan terbuka sehingga dapat mengakomodasi
berbagai macam pemikiran ank bangsa, baik dari kelompok militer maupun sipil.
Dalam konteks hubungan internasional, kepemimpinan di Indonesia kini dituntut
untuk turut berkontribusi dan berkiprah menjawab tantangan zaman. Dibutuhkan
sosok presiden yang mampu memberikan alternatif solusi dan pemikiran-pemikiran
konstruktif dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dalam lingkungan global.
Diperlukan
ketegasan, keberanian, dan kejelasan arah dari kepemimpinan nasional. Sosok
Soeharto telah menjadi pembelajaran penting tentang bagaimana Presiden
Indonesia pernah menjadi figur sentral dalam arsitektur kebijakna pembangunan
nasional. Di masa depan, Indonesia tentunya sangat menantikan hadirnya
sosok-sosok presiden yang selain memiliki ketegasan, keberanian, dan kejelasan
arah kepemimpinan nasional, juga memiliki sikap kenegarawanan yang mampu
mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi
dan kelompoknya.
0 komentar:
Posting Komentar