Pages


widget

Kamis, 11 September 2014

Ringkasan Buku "Praktik Relasi Kekuasaan Soeharto dan Krisis Ekonomi 1997-1998"

BAB 1 INDONESIA DAN BANTUAN LUAR NEGERI
          Pada masa pemerintahaan presiden Soekarno, beliau meminta bantuan luar negeri berupa ketersediaan dana, namun apa yang dilakukan Presiden Soekarno bukan semata-mata untuk alasan ekonomi, melainkan suatu upaya diplomasi menghadapi Belanda dan melawan imprealisme. Pada masa pemerintahan presiden Soeharto, politik konfrontasi Presiden Soekarno secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan. Menteri Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga menyebutkan bahwa Indonesia akan menyambut setiap bantuan asing tanpa ikatan dari negara manapun. Presiden Soeharto lebih mengutamakan pemulihan ekonomi akibat utang luar negri yang dilakukan presiden Soekarno. Akibat perekonomian yang tidak juga pulih, akhirnya pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis moneter yaitu melonjaknya permintaan mata uang dolar AS. Masyarakat mulai menilai bahwa krisis tersebut terjadi karena tidak lepas dari kebijakan ekonomi politik yang dikembankan oleh pemerintah orde baru selama ini bersifat otoriter birokratik , dimana birokrasi dijadikan sebagai alat penguasa untuk melaksanakan pemerintahan secara sewenang-wenang.
            Tanggal 8 Oktober 1997 pemerintah meminta bantuan pada IMF namun hasilnay sama, krisis moneter tetap berlanjut bahkan berkembang menjadi krisis ekonomi. IMF malah menyarankan pemerintah Indonesia untuk menutup 16 Bank, guna memulihkan kepercayaan pasar terhadap sektor perbankan nasional yang merupakan institusi keuangan yang penting dalam aktivitas perekonomian di Indonesia. Namun kebijakan tersebut justru mempeburuk keadaan,  menyebabkan masyarakat resah dan berbondong-bondong menarik simpanannya dari Bank-bank yang akan dilikuidasi.. Keputusan IMF tersebut kurang memperhitungkan efek samping faktor-faktor non-ekonomi (sosial-politik) yang muncul kemudian. Saran dan preskripsi IMF ini pada dasarnya mengacu pada pemikiran liberal Barat yang pro pasar yang dikenal sebagai Washington Consensus kemudian dikritik oleh kalangan deterministic, sehingga mengabaikan aspek-aspek sosial politik.
            Akhirnya pemerintah Indonesia yang diwakili Menteri Keuangan Mar’i Muhammad dan Gubernur B.I. J. Soedrajad Djiwandono kemudian bersama-sama dengan IMF bersepakat menandatangani Letter of Intent (Lol) yang memuat perskripsi IMF mengenai kerangka kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah Indonesia guna mengatasi krisis tersebut. Sehubungan dengan itu kemudian Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus kemudian mengumumkan sejumlah paket bantuan IMF sebesar 23 miliar dollar AS yang berasal dari kontribusi IMF sendiri sebesar 10 miliar dollar AS, Bank Dunia 4,5 miliar dollar AS. Bank Pembangunan Asia (ADB) 3,5 miliar dollar AS. Sisanya 5 miliar dollar AS berasal dari donor liberal.
            Melihat kondisi perekonomian nasional yang tidak kunjung membaik kemudian memunculkan anggapan bahwa hal itu telah menjadi semacam entry point bagi gerakan demokratisasi ekonomi dan politik Indonesia. Artinya pada satu sisi, semakin merosotnya kinerja ekonomi pemerintahan presiden Soeharto telah menyebabkan semakkin memudarnya kepercayaan rakyat. Sementara pada sisi yang lain, hal tersebut justru semakin memperkuat posisi politik kelompok-kelompok gerakan prodemokrasi untuk mengkritisi setiap kebijakan ekonomi pemerintah. Namun, pada akhirnya tampak bahwa akibat kuarang kompaknya Presiden Soeharto dengan tim ekonominya ditambah kurang sejalannya pandangan Presiden Soeharto dengan IMF, terutama mengenai ide penerapan instrumen moneter Currency Board System (CBS). Keadaan semakin memburuk lagi ditambah dengan terjadinya insiden Trisakti ynag menewaskan beberapa Mahasiswa pada 12 Mei 1998, yang kemudian menimbulkan kerusuhan massal 13-15 Mei 1998 di Jakarta.
            Di Indonesia, figur personal seorang pemimpin dalam penyelenggaraan kebijakan luar negeri dikenal sangat kuat pengaruhnya. Seiring kekuasaan presiden Soeharto yang semakin menguat, maka presiden Soeharto telah semakin menjadi figur sentral dalam arsitektur kebijakan luar negeri Indonesia. Setiap kebijakan luar negeri yang penting harus mendapatkan persetujuannya terlebih dahulu.Kelompok militer khususnya Departemen Hankam, dinilai sangat mendominasi kebijakan luar negeri terutama yang menyangkut masalah-masalah keamanan, sedangkan Departemen Luar Negeri(Deplu) terbatas hanya menangani masala-masalah politik.
            Disamping Departemen Hankam tersebut, institusi-institusi lainnya yang ddominasi oleh kelompok maliter seperti Bakin, dan Bais( Badan Intelijen Strategis ABRI ) juga memiliki peranan yang sangat besar dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri dibandingkan peranan kelompok-kelompok sispil. Di sepanjang Orde Baru, kelompok militer dalam banyak hal telah mengintervensi hampir semua bidang pemerintahan.
            Dalam hal ini secara khusus patut pula dicatat adanya peranan pentind CSIS dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soeharto ini. CSIS bahkan sempatdisebut-sebut sebgai sebuah  lembaga pemerintah untuk mengatur masalah-masalah politik domestik dan internasional.
            Adapun kelompok dari kalangan sipil yang  turut berperan dalam pembuatan kebijakn luar negeri Indonesia adalah deplu dan Bappenas. Deplu banyak sekali diserahi tanggung jawab menangani masalah-masalah luar negeri yang terkait dengan isu politik.
            Adapun Bappenas merupakan institusi sipil lain yang dimiliki negaa dan juga berpengaruh dalam pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia di bidang ekonomi khususnya yang terkait dengan bantuan luar negeri ntuk menunjang program-program pembangunan nasional. Institusi yang didirikan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1963 ini semula memang dimaksudkan umtuk memajukan pembangunan ekonomi Indonesia. Itu sebabnya kebanyakan direkrut pemerintah adalah para teknokrat ekonomuntuk membuat rekomendasi-rekomendasi kebijakan pembangunan sosial ekonomi nasional.
            Barulah kemudian semenjak 193, saat jabatan kepala Bappenas dipegang oleh Ginandjar Kartasasmita yang saat itu memiliki kedekatan hubungan dengan B.J. habibie yang merupakan kepercayaan soeharto, maka peranan teknokrat ekonom di Bappenas perlahan-lahan mulai berkurang namun peranan Habibie menjadi semakin aktif dan tidak hanya sekedar mampu menempatkan orang-oangnya di Bappenas, bahkan semakin dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk mereorganisasi Golkar. Sementara itu peranan instansi Sekretariat Negara juga ckup besar. Hal ini dikarenakan akses dan fungsi pokok sekneg sehari-hari menyangkut tugas-tugas kenegaraan Presiden, sehingga institusi ini dinilai sangat berpengaruh dan berkuasa dalam hal pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia.
            Segenap uraian di atas memperlihatkan demikian pentingnya memahami dinamika politik dalam pembuatan keputusan politik menerima bantuan IMF oleh pemerintah Indonesia (1997-1998). Di tengah sikap pro dan kontra berbagai kalangan terhadap kebijakna pemerintah menerima bnatuan IMF untuk memulihkan krisis ekonomi ketika itu, menarik untuk diteliti mengapa pemerintah Indonesia membuat keputusan meminta bantuan kepada IMF daripada mengupayakan sumber-sumber pendanaan selain IMF ? oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimanakah realitas Power Politic atau Power Interplay antara Presiden Soeharto dan kekuatan-kekuatan politik di dalam pembuatan keputusan tersebut ? untuk itu fokus analisis juga perlu diarahkan kepada faktor ideosyncratic yakni figur personal Soeharto sebagai aktor politik utama di dalam kegiatan pembuatan keputusan tersebut. 

BAB 2 FIGUR SOEHARTO DAN OTORITERISME ORDE BARU SEBELUM KRISIS 1997-1998
            Dalam bab ini diuraikan bagaimana hubungan politik antarkekuatan politik yang berada di sekitar presiden Soeharto sebagai pemegangg supremasi kekuasaan pemerintahan Orde Baru yang bersifat otoriter birokratik. Secara khusus bab ini menguaraikan mengenai otoriterisme rezim Soeharto dan figur personal presiden Soeharto sendiri sebagao pemegang kekuasaan sebelum terjadinya krisis moneter dan ekonomi 1997-1998.
            Sejak awal berkuasanya Soeharto setidaknya ada dua kategori kekuatan politik yng utama, yaitu militer dan sipil. Dalam hal perumusan kebijakan luar negeri, terdapat beberapa institusi formal yang dinilai banyak berperan diantaranya yang terpenting adalah Departemen Luar Ngeri, badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Sekretaris Negara, Departemen Pertahanan dan Keamana, Komisi 1 DPR RI, Badan Koordinasi Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis, Lembaga Ketahanan Nasional, Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban, dan sebuah lembaga Center for Strategic and International Studies. Meskipun demikian namun setiap pembuatan kebijakan, keputusan akhirnya tetap berada di tangan Presiden Soeharto.
            Pada hakikatnya kelompok-kelompok kekuatan politik di sekitar Presiden Soeharto tersebut, baik kategori sipil maupun militer memiliki kesamaan, karena mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang sama-sama memiliki dedikasi, loyalitas dan kedekatan hubungan yang sangat erat dengan Soeharto sebagai power figure.
            Sejak awal berkuasanya, pemerinytahan orde baru secara terencana telah membangun sistem ekonomi politik nasional yang bersifat patrimonial dan terpusat pada Presiden Soeharto dan kelompok-kelompok elite politik sekitarnya. Soeharto menerapkan praktik birokratik politik melalui sentralisasi kekuasaan yang banyak dipegang oleh kelompok militer. Adanya penerapan dwi fungsi ABRI praktis telah membuka peluang besar bagi kelompok militer untuk menguasai berbagai aktifitas ekonomi dan sosial politik yang penting di bidang militer. Fundamental ekonomi di Indonesia pun pada saat itu sudah sangat rapuh dan mengakibatkan krisis menjadi berkepanjangan.
            Struktur politik orde baru dengan model bereaucratic authoritarian tersebut tentunya sangat bertentangan dengan paham demokrasi, karena rezim kekuasaan dan proses politik hany memusat pada satu orang atau sekelompok orang sebagai hasil dari kolaborasi antara kelompok militer patrimonial dan teknokrat ekonom.
            Adapun corak dasar dari rezim otoriter birokratik orde baru adalah :
1.      Rezim menindas hak-hak dan kebebasan politik dengan melakukan depolitisasi, memprraktikan korporatisme negara, dan kooptasi politik, bahkan seringkali menggunakan cara-cara kekerasan;
2.      Pemerintah merupakan wujud persekutuan antara militer (sebagai penjaga atau pelaksana stanilitas keamanan) dan teknokrat ekonom (sebagai perumus kebijakn ekonomi) serta birokrat sipil;
3.      Ideologi kekuasaan adalah pembangunanisme (Trilogi Pembangunan) dimana stabilitas politik ditempatkan sebagai alat pertumbuhan ekonomi sehingga penguasa dapat berpihak pada klien-klien ekonominya;
4.      Pembangunan dinikmati oleh jaringan-jaringan kekuasaan dan aliansi politiknya;
5.      Kekuasaan dilegitimasi melalui materi (konglomerasi dan penampilan ekonomi), konstitusional dan inkonstitusional, tertib politik meskipun dengan cara kekerasaan.
Dalam rezim otoriter birokratik ini, kebebasan berpendapat ditekan, diminimalisasi, bahkan ditiadakan penting  dengan cara-cara represif. Birokrasi yang seharusnya menjadi alat pembangunan yang penting untuk  tujuan teknis, ternyata telah disalahgunakan untuk tujuan politik, yakni menjaga stabilitas  kekuasaan rezim pemerintah secara internal maupun eksternal.
Sejak awal berkuasanya, Soeharto menerapkan suatu mode kepemimpinan yang khas dan terutama dilatari oleh cara berpikirnya yang sangat jawa. Menurut Soemarsaid Moertono (1985), dalam tradisi/kultur Jawa diyakini bahwa seorang penguasa memiliki daya ilahi yang kekuatannya luar biasa (sakti). Daya kekuatan tersebut merupakan unsur utama bagi seorang penguasa yang disegani masyarakatyang mengharapkan satu kepemimpinan yang kharismatik.
Selain penilaian dari kultur kekuasaan Jawa, penilaian mengenai figur Soeharto ini juga diberikan oleh Roeder seperti yang dikutip oleh Suryadinata. Hingga tahun 1965-an, menurut penilaian Roeder, sosok Presiden Soeharto masih belum cukup berpengalaman untuk menangani masalah-masalah luar negeri dan kurang menunjukkan ketertarikannya yang besar terhadap masalah-masalah luar negeri dan internasional.
Liddle pun turut juga memberikan penilaiannya sendiri tarhadap Soeharto, Soeharto adalah sosok pemikir tunggal yang berhasil membangun, memelihara, menjaga tetap stabil, dan menguasai seluruh masyarakat selama lebih dari tigapuluh tahun. Para pengamat masih kurang sepakat apakah Soeharto benar-benar seorang ahli strategi sekaligus pembangun dan perencana jangka panjang, ataukah ia hanya seorang ahli taktik yang member respons ad hoc dan inkremental terhadap setiap tantangan dan peluang yang muncul dan sampai seberapa jauh dia menerima atau menolak nasihat. Namun, satu hal yang tak dapat disangsikan bahwa setiap keputusan penting selama rezimnya banyak dibuat oleh Soeharto sendiri.
Disamping kuatnya figur personal Soeharto di atas, terdapat kelompok pendukung yang menopang langgengnya pemerintahan otoriter birokratik Soeharto terutama dari kelompok militer (ABRI) dan kelompok teknokrat ekonom Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan.
Meskipun dikelilingi oleh demikian banyak teknokrat ekonom ulung dan perwira tinggi militer, namun Soeharto dalam gaya kepemimpinannya sangat dikenal sebagai sosok yang tidak pernah mau didikte dan tidak pernah mengadalkan hanya kepada seseorang atau sekelompok kekuatan politik tertentu yang berada disekitarnya.
Persoalannya dibelakang hari terlihat bahwa presiden dalam pengambilan keputusan akhirnya cenderung lebih mengutamakan kepentingan politik pribadi, keluarga, dan kroni-kroninya daripada kepentingan bangsa dan negara yang semestinya didahulukan. Hal ini tampaknya berdampak pula pada karakter pribai Presiden Soeharto yang sangat tidak tahan menghadapi kritik. Selama berkuasanya Presiden Soeharto kebebasan politik rakyat sangat dibatasi. Soeharto dinilai telah banyak melakukan tekanan terhadap kaum intelektual dengan cara memberlakukan sensor tehadap media asing, membatasi perjalanan ke luar negeri, dan membelenggu kebebasan berpendapat. Hal ini menimbulkan kritiikan tajam dari negara-negara barat seperti AS, karena menurut mereka  kepemimpinan Soeharto sarat dengan KKN.
Pada awal masa pemerintahannya, Soeharto cenderung untuk berkonsentrasi pada upaya untuk mengatasi krisis ekonomi yang merupakan warisan daro pemerintahan Soekarno yang ketika itu menyambut baik semua bantuan yang diberikan luar negeri. Karena kesuksesan kerjasama tersebut, akhirnya Jepang meneruakan prakars auntuk menyelenggarakan suatu konsorsium pemberi bantuan yang dikhususkan untuk Indonesia. Kemudian terbentuklah Inter Govermental Group on Indonesia (IGGI) pada 1967. Namun forum ini akhirnya dibubarkan karena Presiden Soeharto merasa tersinggung atas pelakuan Belanda yang dinilai telah menggunakan bantuan luar negerinya sebagai alat intimidasi.
Sri-Edi Swasono menguraikan pendapatnya bahwa pembubaan IGGI ini oleh Presiden Soeharto memang adalah demi membela harga diri bansa, rasa berdaulat dan menolak keterdiktean pula. Kasus pembubaran IGGI di atas memperlihatkan bagaimana figur seorang Soeharto yang demikian berani dan tegas menghadapi pihak asing  yang notabene adalah negara-negara pemberi bantuan dana pinjaman yang selama ini telah menjadi mitranya.
Dilihat dari perspektif hubungan kelompok militer-sipil semasa pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto sejak awal berkuasanya telah menyadari mengenai pentingnya melibatkan kelompok militer maupun sipil dalam suatu proses perumusan kebijakan nasional. Di negara yang cenderung menerapkan praktik otoriter seperti Indonesia ini, besarnya peranan militer tak dapat dipungkiri lagi sebagai kekuatan utam yang diandalkan untuk untuk menciptakan stabilitas politik dan keamanan.
Meskipun dominasi kelompok militer sedemikian besar dan luas namun demikian kekuatan kelompok sipil dalam birokrasi pemerintahan tetap harus diperhitungkan pengaruhnya dalam ranah politik di Indonesia. Akan tetapi, sayangnya peran birokrasi tersebut sudah terkooptasi oleh kepentingan Soehaarto sebagai penguasa Orde Baru. Penggunaan basis kekuatan militer dan teknokrat  ekonomi sipil dalam pemerintahannya tersebut dilakukan oleh Presiden Soeharto sepenuhnya adalah demi melaksanakan program rehabilitasi ekonomi dan politik dalam negeri. Sebagaimana diungkapkan oleh Liddle, birokrasi di Indonesia pada dasarnya mencerminkan suatu kemajemukan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, tidak telalu mengherankan kalau hal ini memunculkan iklim persaingan atau kompetisi serta pertarungan personal untuk memperoleh pengaruh dan kekuasaan di antara departemen-departemen dan  badan-badan negara.
Birokrasi dan kelompok militer sangat solid bersama-sama Golkar menjadi tulang punggung pemerintahan Orde baru. Sepanjang periode Orde Baru ini, msyarakat sangat takut untuk mebicarakan apalagi mengkritisi peranan birokrasi dan militer tersebut dalam pemerintahan.
Di bidang hubungan luar negeri, pemerintah Soeharto dalam banyak hal juga dikenal sangat pragmatis, bahkan fleksibel dalam menerapkan prinsip politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Soeharto tidak pernah memusatkan kekuasaan politiknya hanya mengandalkan pada satu kelompo politik. Kelompok-kelompok kekuatan politik yang terdapat di sekitarnya sedemikian rupa justru dibuat lebih banyak bergantung kepada Soeharto daripada sebaliknya. Adapun pengelompokan kekuatan politik di sekitar Soeharto yang  dibuat oleh Salim Said sebagai “liberals”, “nasionalis”, dan “patrimonial” tampaknya masih dapat diperdebatkan.
Kelompok Widjojo Nitisastro dan kawan-kawan disebut  sebagai “liberalis” dikarenakan mereka adalah teknokrat ekonom dari kalangan sipil yang berpenddikan barat. Sedangkan kelompok yang disebut sebagai kelompok patrimonial adalah Sudharmono, M, dan Ginandjar Kartasasmita. Keberadaan kelompok patrimonial ini lebih dikenal karena kedekatannya yang erat secara cultural dengan presiden Soeharto.  Kemudian muncul kelompok nasionalis yang terdiri dari Habibie dan kawan-kawan . munculnya  kelompok ini sebagai konsekuensi dari keberhasilan Soeharto melemahkan kelompok teknokrat ekonom.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya eksistensi ketiga kelompok ini tidak perlu diragukan lagi kredibilitas dan loyalitasnya kepada Soeharto. Kondisi ketiganya yang selalu berada dalam kondisi tarik-menarik itu sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari system patron-clirnt yang memang secara sengaja diciptakan Presiden Soeharto sendiri untuk memelihara dan mempertahankan kekuasaannya.

BAB III MEMAKNAI RELASI KEKUSAAN SOEHARTO AN KEKUATAN POLITIK DI SEKITARNYA DALAM KEBIJAKAN PEMULIHAN KRISIS 1997-1998
            Sepanjang berkuasanya Soeharto hingga sebelum terjadinya krisis 1997-1998 di Indonesia, tidak dapt dipungkiri Soeharto merupakan sosok penguasa yang sangat kuat pengaruhnya. Namun menjelang akhir masa-masa kekuasaannya tampak bahwa monopolo ekonomi ktoni-kroni Soeharto telah sedemikian makin tidak terkontrol oleh Soeharto, sementara pada tahun-tahun tersebut usia Soeharto memasuku usia senja. Oleh karena itu periode 1992-1997 dapat dinilai sebagai priode terakhir masa berkuasanya Soeharto. Setelah awal Juni 1992, para jendral dari kalangan angkatan bersenjata mengusulkn Try Sutrisno sebagai kandidat Wakil Presiden. Hal ini jelas menandai resistensi kalangan militer untuk pertama kalinya terhadap politik Soeharto. Walaupun ketika itu Soeharto tidak setuju, namun usulan tersebut tidak dapat dihentikan dan nyatanya terbukti bahwa Try Sutrisno memperoleh dukungan mayoritas fraksi MPR untuk menjadi wakil presiden. Hal inilah yang kemudian menyebabkan koneksi antara Soeharto-Habibie melaui Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) menjadi signifikan. Sejak itu Islam dan politik Soeharto memasuki suatu fase baru dalam politik Indonesia. Soeharto telah mengalihkan visi politik militer ke sipil Muslim di tangan Habibie.
            Ketika krisis moneter dan ekonomi melanda Indonesia, menurut Liddle hal ini tidak terlepas dari usia Soehato yang sudah mencapai usia 77 tahun. Soeharto bahkan tidak lagi berkeinginan atau bahkan tidak mampu lagi membedakan antara kepentingan keluarganya dan kroni-kroninya dengan kepentingan bangsa dan negara. Manakala ketika kedua sisi tersebut bertemu, maka Soeharto maka jelas-jelas Soeharto telah memilih untuk membela kepentingan keluarganya seperti yang terjadi pada permulaan krisis moneter 1997. Itu juga penyebabnya mengapa Presiden Soeharto menjadi terlalu berhai-hati dan tidak tegas dalam mengambil kebijakan-kebijakan.. namun ketidaktegasannya ini justru telah menyebabkan krisis semakin berkepanjangan yang akhirnya mengarah pada kejatuhannya.
            Dalam kasus pemerintahan Orde Baru, sedikitnya ada dua penyebab menguatnya posisi Presiden Soeharto, yaitu (1) keberhasilan presiden membangun format politik yang berpusat kepada dirinya; dan (2) keberhasilan Presiden dalam menempatkan orang-orang kepecayaannya dalam pusat-pusat kekusaan yang strategis dan penting. Presiden juga berhasil membangun saluran kepada basis massa yang kokoh terutama melalui kedudukannya sebagai ketua dewan Pembina Golkar dan menempatkan orang-orang dekatnya pada posisi puncak Golkar di tingkat pusat dan daerah. Selain itu ada dua kelompok penting yang menjadi kekuatan semasa pemerintahan Soeharto, yaitu (1) kelompok teknokrat ekonom yang dikenal sebagai kelompok Widjojo dan (2)nkelompok teknokrat teknolog yang dikenal sebagai kelompok teknokrat Habibie. Sejak awal rekan jejak kedua toko ini mmang berbeda. Widjojo lebih banyak berkiprah di bidang perencanaan pembangunan ekonomi dan keuangan yang menandai kemunculan kelompok teknokrat ekonom, sedagkan Habibie di bidang pengembangan riset dan teknologi yang kemudian menandai munculnya kelompok teknokrat teknolog.
            Selama berkuasa, Soeharto telah berhasil membangun suatu oligarki kekuasaan dengan cara mmbatasi proses-proses politik ke dalam hanya sekelompok kecil elite dengan suatu keyakinan bahwa politik yang sedikit adalah suatu prakondisi  yang diperlukan bagi keberlangsungan pembangunan ekonomi. Selain itu Soeharto juga banyak mengandalkan penasehat-penasehat kebijakan yang berbeda-beda tergantung pada situasi atau isu yang dihadapinya.
            Pada masa 1990-an terlihat bahwa perbedaan peran dan pengaruh antara kelompok teknokrat ekonom dan kelompok teknokra teknolog semakin mencuat ke permukaan. Ini disebabkan karena adanya pergeseran kekuasaan di tingkat elite yang dilakukan oleh Presiden Soeharto.  Adanya kritik tajam dari berbagai pihak terhadap kinerja kelompok teknokrat ekonom mendorong Presiden Soehato untuk lebih memilih kelompok teknokrat teknolog Habibie sebagai llangkah untuk mengamankan kekuasaannya.
            Figure personal Soeharto yang tidak suka dikritik juga telah mendasari terjadinya perubahan pentinng di tingkat elite ini. Munculnya berbagai kritik tajam dan gencar dari pihak negara-negara barat maupun IMF dan Bank Dunia terhadap kinerja pemerintahannya yang dinilai sarat dengan KKN semakin dirasakan oleh Soeharto telah menyinggung kepentingan pribadi dan kroni-kroninya sehingga mendesak untuk segera diatasi. Untuk itu menurut penilaian Soeharto, eksistensi dan peran kelompok Widjojo yang selama ini dikenal sebagai counterpart pihak barat, terlebih dahulu harus dilemahkan agar dengan demikian pihak barat tidak lagi mengakses kritikannya melalui keberadaan kelompok Widjojo ini. Kebijakan yang diambil Soeharto ketika itu adalah reshuffle cabinet pada tahun 1993 untuk menggeser posisi kelompok teknokrat ekonom.
            Dalam masa pemerintahan Soeharto, faktor gelar dan posisi tampaknya belum cukup memadai untuk menentukan kekuatan politik seseorang karena faktor edekatan kepada Soeharto juga patut diperhitungkan. Dengan demikian  salah satu pesan penting dari peristiwa reshuffle cabinet Maret 1993 tersebut adalah bahwa kepercayaan Soeharto kepada para teknokrat ekonom sudah mulai menyusut dan bergeser kepada kelompok teknokrat teknolog pimpinan Habibie.
           Ketika krisis merebak, pemerintah memiliki dua lembaga utama yang mangurusi kebijakna moneter Indonesia, yaitu dewan moneter dan Direksi Bank Indonesia (BI). Dewan oneter ini berwenang menetapkan kebijakna moneter dan berhak mengusulkan pengangkatan calon Gubernur dan Direktur BI kepada Presiden.
            Sementara itu, pihak BI selaku otoritas pengendali moneter waktu itu mempunyai penilaian bahwa krisis financial Asia merupakan kejadian terburuk sejak Perang Dunia II, sedangkan krisis di Indonesia adalah kasus terburuk dalam krisis Asia. Untuk meredam tekanan terhadap nilai tukar rupiah, pihak BI memberikan respon dengan memperlebar batas atas dan batas bawah krus rupiah. Yakni dari 8 persen hingga 12 persen.
            Dalam menghadapi masalah depresiasi rupiah, rapat-rapat Dewn Moneter banyak mendiskusikan tentang opsi antara mengembangkan nilai rupiah secara bebas ataukah memperlebar batas atas dan bawah kurs rupiah. Dewan Moneter cenderung menilai bahwa kebijakna untuk memperlebar band nilairupiah adalah salah satu alternative. Namun pada akhirnya, Presiden memutuskan untuk mengambil opsi ke dua, yakni mengembangkan nilai rupiah secara bebas. Namun, keputusan ini erimbas buruk kepada para pelaku dunia usaha. Kemudian keesokan harinya pihak BI mengumumkan diterapkannya kebijakn nilai tukar rupiah mengambang bebas. Namun upaya pemerintah ini kembali tidak membawa hasil sepeti yang diharapkan karena nilai tukar rupiah semakin merosot.
            Dalam upaya  menghadapi gejolak moneter yang semakin buruk, pemerintah kemudian meminta bantuan kepada IMF. Ada dua kemungkinan fasilitas pinjaman yang dapat diajukan kepada IMF waktu itu, yaitu precautionary arrangement ataukah stand-by arrangement. BI mengusulkan agar pemerintah memilih untuk mengajukan opsi yang ke dua, yaitu SBA.
            Dewan moneter menyadari bahwa penerapan yang diambil tidak bisa membuahkan hasil yang diharapkan. Bahkan penurunan keperccayaan pasar dan public tidak lagi sebatas pada rupiah, tetapi sudah mengarah pada lemahnya manajemen perekonomian pemerintah. Untuk itu pemerintah kemudian menunjuk Widjojo untuk memimpin tm ekonomi guna melakukan persiapan-persiapan yang diperlukan untuk melakukan pembicaraan lanjutan dengan pihak IMF.
            Reshuffle cabinet pada Maret 1993 merupakn sinyal awal dari mulai bergesernya elite kekuasaan tingkat tinggi rezim Orde Baru. Sebagaimana telah dijelaskan tadi akhirnya pemerintah meminta bantuan IMF untuk mengatasi krisis tersebut karena situasi perekonomian sudah semakin memberatkan khususnya dai sisi neraca pembayaran. Namun, kemudian muncul pertanyaan apakah kabijakna mengundang IMF merupakan suatu tindakan yang salah ? bahkan ada pula kritisme yang menuduh bahwa tim yang membua keputusan mengundang IMF tersebut telah bekonspirasi unuk menjatuhkan Soeharto.
            IMF merupakan pilihan pemerintah yang paling rasional pada saat itu sebagai sumber pendanaan untuk mengatasi krisis. Namun, selain itu terdapat pula Currency Board System (CBS) yang digagas Stave Hanke sebagai alternative selain IMF.. CBS yang disebut-sebu sebagai gagasan Hanke ini lebih banyak menimbulkan kontra daripada pro.
            Perihal kedatangan Hanke ini kurang jelas siapa yang mengundang dan memfasilitasinya, bahkan sampai bisa memberikan nasehat ekonomi secara langsung kepada Presiden Soeharto. Namun, diyakini bahwa kunjungan tersebut diduga kuat ada back-up dari putera dan puteri Presiden, yaitu Bambang Trihatmodjo dan Siti Herdiyanti
            Presiden Soeharto sebenarnya sangat ingin menerapkan CBS, akan tetapi beliau tidak mendapat dukungan dari elite ekonomnya. Tampaknya ada juga kekhawatiran di kalangan elite ekonom bahwa apabila CBS diterapkan, yakni tidak berperannya lagi BI sehingga tidak ada lagi institusi yang melakukan pengawasan.
            Terdapat suatu dimensi Internasional dalam krisis ekonomi dan politik yang terjadi pada tahun 1998. Dalam hal ini tudingan paling banyak diarahkan kepada IMF dan AS sebagai pihak yang memikul kesalahan besar atas berkepanjangannya krisis di Indonesia. IMF juga dituding memiliki target untuk menjatuhkan Presiden Soeharto. Memang agak sulit membantah anggapan bahwa IMF dalam melaksanakan program-programnya acapkali bernuansa politis.
            Berbagai opini dan sikap kritis dan bahkan sinisme masyarakat keudian muncl untuk menanggapi kebijakan pemerintah menerima paket bantuant dari IMF. Reaksi public umunya bersifat negatif. Mereka menilai bahwa pemerintah cenderung bersikap tidak konsisten dalam menerapkan kebijakannya. Peran IMF sendiri tidak luput dari kritik tajam dari beberapa kalangan. Hal ini terutama disebabkan karena bantuan yang diberikan IMF tidak mampu membebaskan Indonesia dari krisis yang dialaminya.
            Meski peran lembaga legislative sangat lemah pada masa Orde Baru, namun kalangan DPR RI masih terdengar menyuarakan aspirasi sebagai responterhadap pemerintah yang memutuskan meminta bantuan kepada IMF tersebut. Kalangan pengusaha umumnya menyambut baik adanya dana bantuan IMF untuk memulihkan perekonomian di Indonesia. Reaksi pro dan kontra juga muncul dari pengamat ekonomi dan politik dalam menanggapi keputusan pemerintah meminta bantuan IMF.
            Semakin merosotnya nilai rupiah yang berimbas pada memburuknya kinerja perekonomian nasional pada gilirannya membuat kepercayaan public kepada kepemimpinan Presiden Soeharto pun semakin memudar. Terus memburuknya kinerja ekonomi nasional semenjak merebaknya krisis moneer 1997 tersebut jelas merpakan salah satu faktor penting  yang mendorong semakkin menguatnya desakn mundur Presiden Soeharto.karena desakan yuntuk mundur yang datang terus menerus dari kalangan Mahasiswa dan tidak adanya lagi dukungan, akhirnya pada 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB Presiden SOeharto menyatakan berhenti dari jabatan sebagai Presiden dan digantikan oleh Wakil Presiden B.J. Habibie.

BAB IV EPILOG: KEPEMIMPINAN SOEHARTO UNTUK INDONESIA
           Gaya kepemimpinan Soeharto dilatari oleh cara berpikirnya yang sangat jawa. Hal ini menurut Schwarz (1994) dicirikan oleh kepemimpinannya yang lebih mengedepankan harmoni dan konsensus, serta berprinsip menang tanpa harus menakhlukan. Demi tujuan pembangunan nasional, pemerintah Orde baru banyak melakukan birokratisasi terutama pembesaran pada jumlah anggota birokrasi. Akibatnya, tidak terjadi proses dialog antara rakyat dan para pengambil kebijakan secara optimal.
            Figur kepemimpinan Soeharto harus diakui pada awalnya cukup kuat dan efektif. Soeharto dikenal sebagai sosok yang tidak mau didekte dan tidak pernah mengandalkan hanya kepada pendapat seseorang atau pun sekelompok kekuatan politik tertentu yang berada di sekitarnya. Dalam proses pemngambilan keputusan, Soeharto dalam banyak hal dinilai mampu menghadapi pilihan yang sulit dalam posisi atau situasi yang mendesak. Dampaknya adalah sosok Soeharto lebih banyak menerapkan peraturan yang menerapkan apa yang dikenal sebagai peraturan yang dipersonalkan. Yang menjadi kelebihan dari Soeharto dan yang membedakannya dari pemimpin-pemimpin lain masa kini adalah terletak pada kemampuannya melakukan harmonisasi dan negosiasi terutama dengan kelompok-kelompok yang berada dalam lingkaran pemerintahannya untuk tetep dalam suasana kerja yang kondusif.
            Adapun dalam konteks hubungan dengan badan-badan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, Soeharto juga mampu memposisikan Indonesia sebagai negara yang tidak ingin didekte, namun pada saat yang bersamaan Indonesia tetap disegani dan dipandang sebagai mitra strategis mereka.
            Namun, seiring berjalannya waktu dan ambisi untuk terus mempertahankan dan memperkuat kekuasaan Soeharto dan kroni-kroninya, hal ini telah berimbas pada munculnya persaingan politis diantara kroni-kroninya untuk memperebutkan pengaruh dari Soeharto yang notabene usianya sudah semakin menua. Akibatnya, persaingan tersebut telah semakin menjauhkan para pengambil kebijakan dari esensi menyelesaikan permasalahan bangsa. Persaingan politisi antara elompok-kelompok kroni Soeharto tesebut memnberikan dampak negatif terutama saat Indonesia terimbas krisis moneter 1997-1998.
            Soeharto semula memiliki kemampuan mengelola kekuasaan dengan baik sekali, dan dalam pengelolaan tersebut dia tidak mengandalkan seorang maupun kelompok dalam memberikan masukan. Soeharto justru memanfaatkan setiap persaingan politisi di antara kelompok-kelompok tersebut untuk melanggengkan kepentingan kekuasaannya sendiri maupun keluarganya.
            Memasuki penghujung abad ke-20 yng ditandai oleh krisis moneter dan ekonomi yang berkepanjangan, situasi politik dan ekonomi internasional berubah sedemikian pesat. Soeharto semakin tidak mampu mengendalikan kelompok-kelompok militer dan sipil (teknokrat ekonom dan teknokrat teknolog) di sekitarnya yang terus bersaing secara ketat untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Puncaknya, Soeharto memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden. Pengunduran diri Soeharto ini memperlihatkan kelemahan kepemimpinan dengan corak sentralistik dan patron, yaitu karena kurang mempersiapkan proses regenerasi kepemimpinan nasional.
            Belajar dari kegagalan kepemimpina Soeharto, kedepan Indonesia harus mengembangkan corak kepemimpinan yang demokratis dan terbuka sehingga dapat mengakomodasi berbagai macam pemikiran ank bangsa, baik dari kelompok militer maupun sipil. Dalam konteks hubungan internasional, kepemimpinan di Indonesia kini dituntut untuk turut berkontribusi dan berkiprah menjawab tantangan zaman. Dibutuhkan sosok presiden yang mampu memberikan alternatif solusi dan pemikiran-pemikiran konstruktif dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dalam lingkungan global.

            Diperlukan ketegasan, keberanian, dan kejelasan arah dari kepemimpinan nasional. Sosok Soeharto telah menjadi pembelajaran penting tentang bagaimana Presiden Indonesia pernah menjadi figur sentral dalam arsitektur kebijakna pembangunan nasional. Di masa depan, Indonesia tentunya sangat menantikan hadirnya sosok-sosok presiden yang selain memiliki ketegasan, keberanian, dan kejelasan arah kepemimpinan nasional, juga memiliki sikap kenegarawanan yang mampu mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan  kelompoknya.

0 komentar:

Posting Komentar