Pages


widget

Kamis, 11 September 2014

Perempuan Dalam Ranah Politik

Definisi Jender
            Istilah gender seringkali diartikan sama dengan istilah sex, padahal kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Sex adalah jenis kelamin yang dimiliki oleh manusia secara biologis dan dimiliki sejak lahir, sedangkan gender lebih kepada perilaku antara laki-laki dan perempuan yang biasanya perilaku tersebut dibentuk oleh lingkungan tempat tinggal mereka.
                        Konsep jender adalah suatu sifat yang melekat baik pada laki-lai maupun perempuan yang dikonstruksi atau dibentuk secara sosial maupun kultural dengan akibat terjalinnya hubungsn sosial yang membedakan fungsi, peran dan tanggung jawab kedua jenis kelamin itu. Jender bukanlah kodrat atau ketentuan Tuhan dan karenanya berkaitan dengan proses keyakinan tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan prempuan diharuskan untuk bersikap, bertindak dan berperan sesuai dengan ketentuan sosial dan budaya dimana mereka berasal. (Parawansa:2006)
Karena gender dibentuk oleh lingkungan, maka gender bisa dirubah dan dipertukarkan, tidak bersifat permanen. Perempuan seringkali diidentikkan dengan sifat lemah lembut, penyayang, keibuan, dan emosional, sedangkan laki-laki diidentikkan dengan sifat kasar, keras, kuat, dan rasional. Namun adakalanya laki-laki bersifat lembut dan penyayang, dan adakalanya perempuan bersifat kasar. Semua sifat-sifat tersebut tergantung pada lingkungan yang mempengaruhi mereka.

Pembagian Kerja dalam Keluarga
            Dalam konteks keluarga, terdapat pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Pembagian kerja dalam keluarga dibagi menjadi pekerjaan dalam sektor publik dan pekerjaan dalam sektor domestik. Laki-laki lebih dominan dalam sektor publik, terutama dalam sektor ekonomi. Laki-laki sebagai kepala keluarga memiliki tanggung jawab untuk menafkahi keluarganya. Perempuan lebih condong pada sektor domestik, seperti mengurus anak, membersihkan rumah, memasak, dan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Pekerjaan dalam sektor publik biasanya lebih dihargai oleh masyarakat, karena dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai materi, sedangkan pekerjaan dalam sektor domestik dianggap remeh, karena tidak menghasilkan nilai. Karena jender itu bersifat tidak permanen, bisa dirubah dan dipertukarkan, maka pembagian kerja dalam rumah tangga juga bisa dipertukarkan. Jika seorang laki-laki tidak bisa melakukan tugasnya untuk mencari nafkah untuk keluarganya, maka perempuan bisa menggantikan perannya untuk bekerja di sektor publik dan laki-laki tinggal di rumah untuk mengerjakan pekerjaan domestik sebagai Stay Home Father. Ketika laki-laki tidak lagi menjalankan perannya sebagai pencari nafkah dan tinggal di rumah mengerjakan pekerjaan rumah, hal seperti ini dianggap tabuh oleh masyarakat kebanyakan, sehingga membuat laki-laki merasa kecil  di mata perempuan, kemudian menimbulkan banyak masalah-masalah rumah tangga.

Wanita dalam Ranah Politik
            Selama ini politik selalu diidentikkan dengan dunia laki-laki dan wanita kurang aktif dalam berpartisipasi politik. Hal ini dikarenakan sudah menjadi mindset masyarakat bahwa politik adalah dunia yang keras dan kotor, sehingga kaum wanita enggan untuk terjun ke dalamnya, dunia politik lebih cocok digeluti oleh laki-laki. Sejak awal laki-laki juga sudah terbiasa dengan duia publik seperti terjun dalam lembaga-lembaga atau organisasi, sedangkan wanita terbiasa dengan pekerjaan domestik, disamping itu kaum wanita kurang mendapat pendidikan dalam bidang politik. Padahal sebenarnya jika mau menggali, wanita memiliki potensi yang sama dalam berpolitik.
Kurangnya partisipasi politik oleh kaum wanita dikarenakan kurangnya pendidikan politik yang diterima. Sejak awal kaum perempuan selalu dianggap lebih rendah ketimbang laki-laki. Dalam hal apapun laki-laki selalu lebih diutamakan. Contohnya dalam bidang pendidikan. Laki-laki dituntut untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, sedangkan perempuan cukup tinggal di rumah untuk melakukan pekerjaan rumah. Karena kebiasaan perempuan yang lebih dominan bekerja pada sektor domestik sehingga dirasa tidak penting untuk memberikan pendidikan kepada kaum perempuan, terlebih masalah politik.
Karena kurangnya kader perempuan yang terjun dalam ranah politik, maka pengambilan-pengambilan keputusan dalam sektor pemerintahan juga didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga dalam menentukan keputusan untuk periode selanjutnya, diantaranya masalah jumlah anggota lebih banyak pada laki-laki. Kurangnya kesadaran mengenai kesetaraan jender juga menjadi salah satu faktor kurangnya partisipasi perempuan dalam dunia politik.
            Seiring dengan perkembangn zaman, dan keberhasilan gerakan-gerakan yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan seperti feminisme dan emansipasi wanita, jumlah partisipasi wanita dalam segala bidang di dunia terus meningkat, termasuk juga di Indonesia. Wanita tidak lagi hanya berperan untuk menjalankan fungsi reproduksi, tapi juga mulai terejun dalam berbagai sector publik, seperti pendidikan, kesehatan, agama, politik, dan lain-lain.
            Jumlah politisi wanita pada pemerintahan periode ini meningkat. Peningkatan jumlah partisipan wanita dalam dunia politik ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya adanya sosialisasi kesetaraan gender bahwa wanita memiliki peran dan potensi yang sama dengan laki-laki, termasuk dalam dunia politik, terpenuhinya pendidikan politik untuk kaum perempuan, dan adanya kesempatan bagi kaum perempuan untuk terjun dalam dunia politik.
Tabel 1.1 Keterwakilan Perempuan di DPR RI

Masa Kerja DPR
Perempuan
Laki-Laki
Jumlah
%
Jumlah
%
1950-1955(DPR Sementara)
9
3,8
236
96,2
1955-1960
17
6,3
272
93,7
1956-1959 (Konstituante)
25
5,1
488
94,9
1971-1977
36
7,8
460
92,,2
1977-1982
29
6,3
460
92,2
1982-1987
39
8,5
460
91,5
1987-1992
65
13
500
87
1992-1997
62
12,4
500
87,6
1997-1999
54
10,8
500
89,2
1999-2004
45
9
500
91
2004-2009
64
11,6
486
88,4
Data diolah dari berbagai sumber
Jumlah politisi wanita dari tiap-tiap periode terus berkembang, hingga sekarang 30%  kursi DPR diisi oleh wanita.

Perspektif Teoritis Struktural Fungsional dan Konflik Terhadap Peranan Wanita dalam Ranah Politik
            Sebagai bidang yang relative baru digeluti oleh wanita, keikutsertaan wanita dalam ranah politik seringkali tidak mendapat respon positif, bahkan oleh kalangan wanita sendiri. Padahal keikutseraan wanita dalam ranah politik merupakan suatu wujud dari usaha para politisi wanita untuk menunjukkan bahwa wanita juga bisa memiliki peran yang sama dengan laki-laki dalam dunia politik; bahwa dunia politik bukan hanya milik laki-laki dan wanita juga bisa turut menggelutinya. Sheila Lewenhak mencatat bahwa sedikitnya jumlah politisi wanita pada lembaga-lembaga legislative disebabkan karena kaum wanita lebih suka memilih kandidat laki-laki daripada kandidat wanita sendiri.
Keikutsertaan kaum wanita dalam ranah politik memberikan pengaruh bagi kehidupan keluarganya. Banyak politisi wanita yang mendapat dukungan dari suaminya, namun ada juga yang tidak.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keikutsertaan wanita dalam dunia politik memberikan keuntungan yang besar bagi kenaikan karier suami atau isteri baik dalam bidang politik maupun non-politik, penaikan status sosial keluarga dan menambah pemasukan keuangan, sehingga suami mendukung aktivitas politik yang dilakukan isterinya.
            Namun ada juga suami yang tidak mendukung atau kurang mendukunga aktivitas politik isteri. Alasannya adalah ketika isteri mulai terjun dalam dunia politik, otomatis waktu untuk keluarganya menjadi berkurang. Peran utama wanita sebagai pengurus rumah tangga dan mengatur anak menjadi ternomor duakan. Padahal dalam budaya masyarakat Indonesia, terdapat anggapan bahwa tugas untuk mendidik anak adalah Ibu, sedangkan tugas untuk mencari nafkah adalah Ayahh.
 Sikap keberatan lainnya dikarenakan suami dari politisi wanita kalah pengaruh ketimbang isterinya. Dalam artian keberhasilan isteri menjadi anggota lehislatif membuat suami merasa memiliki status yang lebih rendah ketimbang isteri, sehingga suami merasa malu kepada isterinya. Masalah  seperti ini sebenarnya muncul disebabkan lebih kepada  keadaan psikologis suami  daripada tekanan lingkungan.
Kasus seperti ini sering terjadi pada akhir-akhir ini. Seperti pada keluarga artis yang kemudian isterinya menjadi anggota legislative. Keadaan tersebut membuat ketimpangan antara pekerjaan isteri dan pekerjaan suami, disamping itu isteri menjadi kurang memperhatikan anak dan akhirnya berujung pada perceraian.

Persoalan-persoalan di atas, bersumber pada peran ganda yang dilakukan wanita. Meskipun wanita terjun dalam ranah politik dan memperoleh kesetaraan yang sama bahkan bisa mengungguli laki-laki namun wanita tidak seharusnya lupa pada kodratnya sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi suami dan anak-anaknya. Sebagai wanita karier, wanita dituntut untuk memperjuangkan haknya dengan mencapai karier setinggi-tingginya, namun sebagai ibu rumah tangga ia dituntut untuk mengurus kehidupan keluarga dengan sebaik-baiknya.

0 komentar:

Posting Komentar