Definisi
Jender
Istilah
gender seringkali
diartikan sama dengan istilah sex, padahal kedua istilah tersebut memiliki
pengertian yang berbeda. Sex adalah jenis kelamin yang dimiliki oleh manusia
secara biologis dan dimiliki sejak lahir, sedangkan gender lebih kepada
perilaku antara laki-laki dan perempuan yang biasanya perilaku tersebut
dibentuk oleh lingkungan tempat tinggal mereka.
Konsep
jender adalah suatu sifat yang melekat baik pada laki-lai maupun perempuan yang
dikonstruksi atau dibentuk secara sosial maupun kultural dengan akibat
terjalinnya hubungsn sosial yang membedakan fungsi, peran dan tanggung jawab
kedua jenis kelamin itu. Jender bukanlah kodrat atau ketentuan Tuhan dan
karenanya berkaitan dengan proses keyakinan tentang bagaimana seharusnya
laki-laki dan prempuan diharuskan untuk bersikap, bertindak dan berperan sesuai
dengan ketentuan sosial dan budaya dimana mereka berasal. (Parawansa:2006)
Karena gender dibentuk oleh
lingkungan, maka gender
bisa dirubah dan dipertukarkan, tidak bersifat permanen. Perempuan seringkali diidentikkan
dengan sifat lemah lembut, penyayang, keibuan, dan emosional, sedangkan
laki-laki diidentikkan dengan sifat kasar, keras, kuat, dan rasional. Namun adakalanya laki-laki
bersifat lembut dan penyayang, dan adakalanya perempuan bersifat kasar. Semua
sifat-sifat tersebut tergantung pada lingkungan yang mempengaruhi mereka.
Pembagian
Kerja dalam Keluarga
Dalam
konteks keluarga, terdapat pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Pembagian kerja dalam keluarga dibagi menjadi
pekerjaan dalam sektor publik dan pekerjaan dalam sektor domestik.
Laki-laki lebih dominan dalam sektor publik, terutama dalam sektor ekonomi.
Laki-laki sebagai kepala keluarga memiliki tanggung jawab untuk menafkahi
keluarganya. Perempuan lebih condong pada sektor domestik, seperti mengurus
anak, membersihkan rumah, memasak, dan pekerjaan rumah tangga lainnya.
Pekerjaan
dalam sektor publik biasanya lebih dihargai oleh masyarakat, karena dapat
menghasilkan sesuatu yang bernilai materi, sedangkan pekerjaan dalam sektor
domestik dianggap remeh, karena tidak menghasilkan nilai.
Karena jender itu bersifat tidak permanen, bisa dirubah dan dipertukarkan, maka
pembagian kerja dalam rumah tangga juga bisa dipertukarkan. Jika seorang
laki-laki tidak bisa melakukan tugasnya untuk mencari nafkah untuk keluarganya,
maka perempuan bisa menggantikan perannya untuk bekerja di sektor publik dan
laki-laki tinggal di rumah untuk mengerjakan pekerjaan domestik sebagai Stay
Home Father. Ketika
laki-laki tidak lagi menjalankan perannya sebagai pencari nafkah dan tinggal di
rumah mengerjakan pekerjaan rumah, hal seperti ini dianggap tabuh oleh masyarakat
kebanyakan, sehingga membuat laki-laki merasa kecil di mata perempuan, kemudian menimbulkan
banyak masalah-masalah rumah tangga.
Wanita dalam Ranah Politik
Selama ini politik selalu diidentikkan dengan dunia
laki-laki dan wanita kurang aktif dalam berpartisipasi politik. Hal ini
dikarenakan sudah menjadi mindset masyarakat
bahwa politik adalah dunia yang keras dan kotor, sehingga kaum wanita enggan
untuk terjun ke dalamnya, dunia politik lebih cocok digeluti oleh laki-laki.
Sejak awal laki-laki juga sudah terbiasa dengan duia publik seperti terjun
dalam lembaga-lembaga atau organisasi, sedangkan wanita terbiasa dengan
pekerjaan domestik, disamping itu kaum wanita kurang mendapat pendidikan dalam
bidang politik. Padahal sebenarnya jika mau menggali, wanita memiliki potensi
yang sama dalam berpolitik.
Kurangnya
partisipasi politik oleh kaum wanita dikarenakan kurangnya pendidikan politik
yang diterima. Sejak awal kaum perempuan selalu dianggap lebih rendah ketimbang
laki-laki. Dalam hal apapun laki-laki selalu lebih diutamakan. Contohnya dalam
bidang pendidikan. Laki-laki dituntut untuk mengenyam pendidikan
setinggi-tingginya, sedangkan perempuan cukup tinggal di rumah untuk melakukan
pekerjaan rumah. Karena kebiasaan perempuan yang lebih dominan bekerja pada sektor
domestik sehingga dirasa tidak penting untuk memberikan pendidikan kepada kaum
perempuan, terlebih masalah politik.
Karena
kurangnya kader perempuan yang terjun dalam ranah politik, maka pengambilan-pengambilan
keputusan dalam sektor pemerintahan juga didominasi oleh kaum laki-laki,
sehingga dalam menentukan keputusan untuk periode selanjutnya, diantaranya
masalah jumlah anggota lebih banyak pada laki-laki. Kurangnya kesadaran mengenai
kesetaraan jender juga menjadi salah satu faktor kurangnya partisipasi
perempuan dalam dunia politik.
Seiring dengan perkembangn zaman, dan keberhasilan
gerakan-gerakan yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan seperti feminisme
dan emansipasi wanita, jumlah partisipasi wanita dalam segala bidang di dunia
terus meningkat, termasuk juga di Indonesia. Wanita tidak lagi hanya berperan
untuk menjalankan fungsi reproduksi, tapi juga mulai terejun dalam berbagai
sector publik, seperti pendidikan, kesehatan, agama, politik, dan lain-lain.
Jumlah politisi wanita pada pemerintahan periode ini
meningkat. Peningkatan jumlah partisipan wanita dalam dunia politik ini
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, diantaranya adanya sosialisasi
kesetaraan gender bahwa wanita memiliki peran dan potensi yang sama dengan
laki-laki, termasuk dalam dunia politik, terpenuhinya pendidikan politik untuk
kaum perempuan, dan adanya kesempatan bagi kaum perempuan untuk terjun dalam
dunia politik.
Tabel 1.1
Keterwakilan Perempuan di DPR RI
Masa
Kerja DPR
|
Perempuan
|
Laki-Laki
|
||
Jumlah
|
%
|
Jumlah
|
%
|
|
1950-1955(DPR Sementara)
|
9
|
3,8
|
236
|
96,2
|
1955-1960
|
17
|
6,3
|
272
|
93,7
|
1956-1959 (Konstituante)
|
25
|
5,1
|
488
|
94,9
|
1971-1977
|
36
|
7,8
|
460
|
92,,2
|
1977-1982
|
29
|
6,3
|
460
|
92,2
|
1982-1987
|
39
|
8,5
|
460
|
91,5
|
1987-1992
|
65
|
13
|
500
|
87
|
1992-1997
|
62
|
12,4
|
500
|
87,6
|
1997-1999
|
54
|
10,8
|
500
|
89,2
|
1999-2004
|
45
|
9
|
500
|
91
|
2004-2009
|
64
|
11,6
|
486
|
88,4
|
Data diolah dari berbagai sumber
Jumlah politisi wanita dari
tiap-tiap periode terus berkembang, hingga sekarang 30% kursi DPR diisi oleh wanita.
Perspektif Teoritis Struktural Fungsional dan Konflik
Terhadap Peranan Wanita dalam Ranah Politik
Sebagai bidang yang relative baru digeluti oleh wanita, keikutsertaan
wanita dalam ranah politik seringkali tidak mendapat respon positif, bahkan
oleh kalangan wanita sendiri. Padahal keikutseraan wanita dalam ranah politik
merupakan suatu wujud dari usaha para politisi wanita untuk menunjukkan bahwa
wanita juga bisa memiliki peran yang sama dengan laki-laki dalam dunia politik;
bahwa dunia politik bukan hanya milik laki-laki dan wanita juga bisa turut
menggelutinya. Sheila Lewenhak mencatat bahwa sedikitnya jumlah politisi wanita
pada lembaga-lembaga legislative disebabkan karena kaum wanita lebih suka
memilih kandidat laki-laki daripada kandidat wanita sendiri.
Keikutsertaan
kaum wanita dalam ranah politik memberikan pengaruh bagi kehidupan keluarganya.
Banyak politisi wanita yang mendapat dukungan dari suaminya, namun ada juga
yang tidak.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa keikutsertaan wanita dalam dunia politik memberikan keuntungan
yang besar bagi kenaikan karier suami atau isteri baik dalam bidang politik
maupun non-politik, penaikan status sosial keluarga dan menambah pemasukan
keuangan, sehingga suami mendukung aktivitas politik yang dilakukan isterinya.
Namun ada juga suami yang tidak mendukung atau kurang
mendukunga aktivitas politik isteri. Alasannya adalah ketika isteri mulai
terjun dalam dunia politik, otomatis waktu untuk keluarganya menjadi berkurang.
Peran utama wanita sebagai pengurus rumah tangga dan mengatur anak menjadi
ternomor duakan. Padahal dalam budaya masyarakat Indonesia, terdapat anggapan
bahwa tugas untuk mendidik anak adalah Ibu, sedangkan tugas untuk mencari
nafkah adalah Ayahh.
Sikap keberatan lainnya dikarenakan suami dari
politisi wanita kalah pengaruh ketimbang isterinya. Dalam artian keberhasilan isteri
menjadi anggota lehislatif membuat suami merasa memiliki status yang lebih
rendah ketimbang isteri, sehingga suami merasa malu kepada isterinya.
Masalah seperti ini sebenarnya muncul
disebabkan lebih kepada keadaan
psikologis suami daripada tekanan
lingkungan.
Kasus
seperti ini sering terjadi pada akhir-akhir ini. Seperti pada keluarga artis
yang kemudian isterinya menjadi anggota legislative. Keadaan tersebut membuat
ketimpangan antara pekerjaan isteri dan pekerjaan suami, disamping itu isteri
menjadi kurang memperhatikan anak dan akhirnya berujung pada perceraian.
Persoalan-persoalan
di atas, bersumber pada peran ganda yang dilakukan wanita. Meskipun wanita
terjun dalam ranah politik dan memperoleh kesetaraan yang sama bahkan bisa
mengungguli laki-laki namun wanita tidak seharusnya lupa pada kodratnya sebagai
ibu rumah tangga yang mengurusi suami dan anak-anaknya. Sebagai wanita karier,
wanita dituntut untuk memperjuangkan haknya dengan mencapai karier
setinggi-tingginya, namun sebagai ibu rumah tangga ia dituntut untuk mengurus
kehidupan keluarga dengan sebaik-baiknya.
0 komentar:
Posting Komentar